REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa Hukum Ratna Sarumpaet, Insank Nasruddin menjelaskan bantahan atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Selasa (18/6). Menurutnya, JPU salah menerapkan pasal 14 yang berisi larangan penyiaran berita bohong. Pasal tersebut tercantum dalam Undang-Undang (UU) nomor 1 tahun 1946.
"Jaksa Penuntut Umum salah menerapkan pasal 14 Undang-Undang nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana. Pasal tersebut lama tidak diterapkan dalam penegakan hukum karena pasal tersebut sudah ada instrumen lain," kata Insank.
Ia menambahkan, aturan tersebut telah diperbarui dengan Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Selain itu, aturan tersebut juga telah diperbarui dengan Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Bantahan tersebut dibacakan di ruang sidang utama, Prof. H. Oemar Seno Adji, SH, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Ragunan, Pasar Minggu. Selanjutnya, Insank beralasan, UU nomor 1 tahun 1946 dibuat dalam konteks massa transisi pasca kemerdekaan. Sehingga, UU tersebut ditujukan untuk mengatur masyarakat dalam keadaan genting.
"Pasal tersebut tidak tepat lagi diterapkan dalam massa sekarang. Apalagi diterapkan dalam situasi masyarakat normal tidak ada kegentingan," ujar Insank.
Insank juga menyatakan, pasal 14 UU 1 tahun 1946 tergolong sebagai delik materiil. Sehingga, untuk menggunakannya diperlukan pembuktian mengenai dampak yang dihasilkan.
"Perlu dibuktikan terlebih dahulu adanya keonaran di dalam masyarakat. Jadi tidak hanya berkaitan dengan kebohongan semata. Harus terjadi keonaran di kalangan rakyat akibat kebohongan tersebut," tuturnya.
Menurut Insank, demonstrasi tidak bisa digunakan sebagai bukti keonaran. Pasalnya demonstrasi bukanlah kericuhan. Hal itu merupakan sarana menyampaikan aspirasi yang dijamin undang-undang.
"Hal itu tidak berdampak pada rusaknya fasilitas umum dan tidak ada pihak yang dirugikan," ujarnya.