Jumat 31 May 2019 15:14 WIB

Suara Jokowi-Amin di Pilpres 2019 Lampaui SBY dan Obama

Di Pilpres 2019 Jokowi-Amin meraih 85,607 juta suara, SBY 73 juta di Pilpres 2009

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Karta Raharja Ucu
Pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri) dan Ma'ruf Amin mengikuti debat kelima Pilpres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (13/4/2019).
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri) dan Ma'ruf Amin mengikuti debat kelima Pilpres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (13/4/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Joko Widodo bisa jadi salah satu pemimpin negara yang dipilih dengan suara terbesar di tingkat internasional. Mengacu pada hasil rekapitulasi Pemilihan Presiden 2019 di Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menahbiskan pasangan Jokowi-KH Ma'ruf Amin berhasil mengumpulkan total suara sebesar 85,607 juta suara. Jauh melebihi pesaing mereka pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang mendapatkan 68,650 juta suara.

Bila dibandingkan dengan perolehan di Pilpres 2014 pun, keunggulan Jokowi-Ma'ruf terlihat jelas pada 2019. Dalam pilpres ini, pasangan 01 berhasil menambah 14,609 juta suara pemilih. Hasil ini dua kali lipat lebih daripada suara pemilih Prabowo-Sandi pada 2019. Di mana pada tahun ini, Prabowo-Sandi bisa mengumpulkan 68,650 juta suara atau hanya menambah 6,073 juta suara dari Pilpres 2014.

Baca Juga: Survei Republika: 40 Persen Responden Ingin Lapangan Kerja

Bila didudukkan dalam peta pemilihan langsung kepala negara di dunia, menurut riset Republika-Claster Consulting, hasilnya sejauh ini Presiden Jokowi adalah pemimpin yang dipilih dengan suara terbesar. Suara pemilih Jokowi jauh lebih banyak daripada, misal: Pemilih Soesilo Bambang Yudhoyono pada 2009 (73,874 juta suara), Barack Obama pada 2008 (69,498 juta suara). Bahkan, perolehan suara Jokowi jauh di atas perolehan suara Hillary Clinton dan Donald Trump di Pilpres Amerika Serikat 2016, Pemilihan Presiden Brasil 2006 Lula Da Silva, dan Presiden Rusia Vladimir Putin (56,430 juta suara).

"Untuk meletakkan bagaimana besarnya suara pemilih Jokowi-KH Ma'ruf ini, kita bisa melihat bagaimana tidak ada kandidat presiden di AS yang menang dengan selisih 9,6 juta suara pemilih atau dengan persentase 8,5 persen dalam 35 tahun terakhir," demikian pendapat Claster Consulting.

photo
Perolehan suara pemimpin negara pada ajang pilpres di dunia. (Sumber: Survei Republika-Claster Consulting)

Dengan demikian, isu legitimasi menjadi amat penting. Dalam postsurvei yang dilakukan pascapilpres oleh Republika-Claster Consulting pertanyaan-pertanyaan soal sikap menerima hasil pilpres menjadi bahan yang menarik. Lebih dari 72 persen responden bereaksi mendukung agar Prabowo harus bersikap menerima hasil pilpres.

Dibandingkan hanya 17 persen responden yang terus mendukung Prabowo-Sandi memprotes terus-menerus hasil perhitungan KPU. Demikian juga terhadap pertanyaan apakah kubu Prabowo seharusnya mengaku dan mengucapkan selamat kepada Jokowi. Dan terhadap pertanyaan apakah Prabowo harus menerima hasil pilpres agar kerja pemerintahan yang baru ini tidak terganggu. Responden bereaksi dengan menempatkan suara di atas 70-80 persen terhadap dua isu ini.

Juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Arif Budimanta, mengatakan, bila pasangan pilpres percaya dengan demokrasi, semua pihak harus menerima hasil pemilu dan proses-prosesnya. Pihak yang kalah, kata Arif, sebaiknya mempersiapkan diri untuk pemilu berikutnya.

"Daripada mereka sibuk dengan narasi kecurangan pemilu," kata Arif saat dihubungi, Kamis malam.

Suhendra Ratu Prawiranegara, juru bicara Badan Pemenangan Nasional kubu 02 Prabowo-Sandiaga mengatakan, yang terjadi saat ini adalah sebuah proses politik di Mahkamah Konstitusi. Karena itu, ia meminta semua pihak menunggu keputusan final dari MK.

"Mungkin setelah putusan dari MK ada pertemuan antara dua kubu," kata Suhendra. Ia menekankan, segala sesuatu bergantung pada kondisi terkini. BPN, ia tegaskan, kini masih fokus menyiapkan gugatan sengketa di MK.

 

Dalam mengadakan survei, Republika bekerja sama dengan Claster Consulting besutan Andrew Claster. Andrew Claster adalah salah satu polster terkemuka di Amerika Serikat. Dia pernah menjadi deputy chief analytics officer di kantor kampanye Barack Obama periode 2012. Selain itu, Claster juga sudah malang melintang melakukan riset dan survei dengan klien mulai dari Hillary Clinton, Democratic National Committee, duet perdana menteri Inggris, Tony Blair dan Gordon Brown, dan terakhir berkiprah di Malaysia. Di Pemilu Malaysia 2018, Claster sukses memprediksi kemenangan koalisi Pakatan Harapan terhadap Barisan Nasional (UMNO).
Survei Republika-Claster Consulting dijalankan pada 30 April sampai 1 Mei 2019. Sebanyak 2.163 responden secara nasional dijaring dalam survei ini. Para responden dihubungi melalui telepon seluler ataupun telepon rumah. Pemilihan responden dilakukan secara bertingkat dan acak mengacu pada keterwakilan dan bobot daerahnya. Margin of error survei ini mencapai plus minus 2,1 persen.
Sebanyak 51 persen responden laki-laki dan sisanya perempuan. Dengan proporsi agama sebanyak 86 persen Islam dan Kristen 10 persen serta sisanya empat persen. Responden berasal dari daerah urban sebanyak 53 persen dan rural sebanyak 47 persen. Responden terbesar yang dijaring berasal dari tingkatan umur 30-39 tahun (23 persen), disusul oleh usia 40-49 tahun (20 persen), 23-29 tahun (16 persen), 50-59 tahun (15 persen), 60 tahun ke atas (14 persen), dan 17-22 tahun (12 persen).

Dari bobot daerah dan penduduknya, Jawa adalah pulau dengan responden terbesar. Sebanyak 55 persen responden datang dari Jawa, sisanya sebanyak 23 persen dari Sumatra, 7 persen dari Sulawesi, 6 persen dari Kalimantan, dan sisanya 9 persen. Di Jawa, Jawa Barat memiliki porsi yang besar dengan 17 persen responden, diikuti Jawa Timur 14 persen, dan Jawa Tengah 13 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement