Kamis 02 May 2019 21:57 WIB

Pakar Jelaskan Mengapa E-Voting Bukan Solusi Masalah Pemilu

Beberapa negara maju malah kembali menerapkan sistem pemilu secara manual.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Andri Saubani
Bilik dan kotak suara Pemilu 2019 di AS (Ilustrasi)
Foto: VOA
Bilik dan kotak suara Pemilu 2019 di AS (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyelenggaraan Pemilu 2019 di Indonesia yang dinilai sangat rumit dan melelahkan memunculkan wacana diberlakukannya pemungutan suara (voting) elektronik. Namun, voting elektronik dianggap tak baik diterapkan dalam proses demokrasi.

Peneliti Senior Populi Center Afrimadona menjelaskan, penyelenggaraan pemungutan suara elektronik memiliki kompleksitas yang terlalu tinggi. Meskipun, ia mengakui voting elektronik dapat 'menghemat' beberapa proses atau biaya yang terjadi dalam voting konvensional.

Baca Juga

"E-voting (electronic voting) ini cukup kompleks, meskipun dalam kajiannya mampu menyelesaikan atau memotong beberapa proses," kata Afrimadona dalam diskusi yang digelar di Populi Center, Kamis (2/5).

Berdasarkan komunikasi yang dilakukan dengan sejumlah ahli komputer dan informatika, menurut Afrimadona, penyelenggaraan voting elektronik juga terlalu meragukan. Pasalnya, kata dia, bagaimanapun sistem komputer dibangun, ancaman peretas sangat besar.

Terlebih lagi, pemilu adalah proses distribusi kekuasaan yang diperebutkan oleh para pesertanya. Dikhawatirkan, proses voting elektronik justru menjadi ajang perlombaan antarperetas atau peretas dengan penyedia firewall.

"Nah hacker dari berbagai daerah ini jago menembus ke mana-mana. Beberapa negara akhirnya rollback ke voting manual lagi. Seperti Jerman dan Belanda," kata Afrimadona.

Ahli Pemilu Didik Supriyanto juga menyebut, penyelenggaraan voting elektronik kurang mendapat legitimasi dari masyarakat karena kurang transparan. Masyarakat sulit memastikan bahwa suara mereka masuk ke dalam sistem nasional. Otentifikasi masyarakat sulit dibuktikan.

Meski para ahli komputer bisa memastikan melalui penjelasan teknis, masyarakat akan sulit menerima dan kesulitan menerima karena tataran teknis yang kompleks.  Hal ini, kata Didik, menyebabkan sampai saat ini negara-negara di dunia tak menggunakan voting elektronik. Bahkan Jerman dan Belanda yqng sempat menerapkan e-voting kembali menggunakan pemungutan suara konvensional.

Didik menjelaskan, yang sebenarnya diperlukan justru rekapitulasi elektronik yang resmi. Sehingga, proses rekapitulasi lebih cepat dan menghemat tenaga.

"Yang kita perlukan sebenaranya E-rekap," kata dia.

KPU RI sebenarnya telah melakukan rekapitulasi elektronik melalui Situng KPU, yang datanya bersumber dari formulir C1 dari tia TPS. Namun, Situng KPU bukan menjadi hasil resmi rekapitulasi KPU. Hasil resmi tetap berasal dari sistem hitung manual berjenjang yang dilakukan oleh KPU.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement