Rabu 24 Apr 2019 07:37 WIB

Dukacita dan Pemilu Serentak

Pemilu serentak menjadi wacana panas menyusul meninggalnya banyak petugas pemilu.

Pihak Pemohon Gugatan Undang-Undang No8 1995 Effendi Ghazali mengikuti sidang perdana gugatan undang-undang Pilkada di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (19/20).
Foto: Republika/ Wihdan
Pihak Pemohon Gugatan Undang-Undang No8 1995 Effendi Ghazali mengikuti sidang perdana gugatan undang-undang Pilkada di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (19/20).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Effendi Gazali, Pengaju Uji Materi Pemilu Serentak

Seluruh bangsa ikut berduka atas meninggalnya petugas KPPS, panwas, polisi, dan berbagai pihak terkait Pemilu serentak 17 April 2019. Tidak ada orang yang meragukan, kita ikut berdukacita sedalam-dalamnya.

Bahkan di banyak kesempatan, termasuk pada acara Indonesia Lawyers Club di TV One, kami pengaju judicial review atau uji materi untuk pemilu serentak, menyatakan menyesal mengajukan uji materi jika hasil UU Pemilunya seperti UU Pemilu No 7 Tahun 2017.

Kami juga terang-terangan mengimbau agar pemilu kita dikembalikan saja seperti tahun 2014 daripada Pemilu serentak 2019 dipaksakan dengan memberlakukan presidential threshold! Tapi, apakah kemudian pemilu serentaknya yang harus disalahkan?

Mari kita uraikan dengan jernih. Mahkamah Konstitusi (MK) harus mengabulkan pemilu serentak pada 23 Januari 2014. Karena memang kehendak asli (original intent) pembuat UUD 1945 dan amendemennya.

Profesor Mahfud MD mengulangi hal itu pada cicitannya, 20 April 2019. Namun, lihatlah betapa ada waktu lima tahun dua bulan lebih untuk mempersiapkan pemilu serentak itu! Berikut ini jalan pikiran jernih tentang pemilu serentak:

MK tidak dapat membuat UU, maka seharusnya pembentuk UU (pemerintah dan DPR) membuat sebuah kodifikasi UU tentang pemilu. Selama uji materi ke MK, kami dan para ahli, antara lain, mengusulkan pemilu serentak terbagi dua.

Satu, pemilu serentak nasional memilih presiden, DPR, dan DPD. Dua, pemilu daerah serentak memilih kepala daerah, DPRD tingkat provinsi, dan DPRD tingkat kabupaten/kota. Berkali-kali kami diskusikan dan sampaikan ke media bersama unsur civil society.

Bahkan, kami sampaikan saat peluncuran buku Mendagri Tjahjo Kumolo tentang Dasar Hukum Pilkada Serentak di Kemendagri, 1 Desember 2015.

Namun, pembentuk UU tidak kunjung membuat kodifikasi. Berbagai masukan yang kami sampaikan lewat media ataupun datang langsung ke DPR, seperti terbuang percuma. Sebut saja sebagai contoh soal definisi dan masa “kampanye”.

Yang kemudian menghabiskan banyak waktu, bahkan sampai diwarnai walk-out berbondong-bondong pada malam paripurna pengesahan UU Pemilu adalah soal presidential threshold (ambang batas persyaratan mengajukan calon presiden).

Apakah ambang batasnya 0 persen, 10 persen, atau 20 persen? Akhirnya, setelah diwarnai voting, UU Pemilu disahkan 21 Juli 2017 dini hari. Presidential threshold ditetapkan 20 persen dan diambil dari pemilu legislatif lima tahun sebelumnya.

Ini satu-satunya pemilu serentak di dunia yang memakai presidential threshold dari pemilu legislatif sebelumnya!

Kami yakin, pendiri negara serta pembuat UUD kita tidak pernah berniat membatasi munculnya pasangan putra-putri terbaik bangsa menjadi calon presiden dan wakil presiden. Mereka pasti tidak pernah membayangkan pemilu kita hanya menghadirkan dua kubu.

Sementara itu, MK memutuskan menolak semua permohonan pembatalan presidential threshold yang diajukan civil society setelah UU Pemilu lolos di DPR.

Jelas dalam aturan presidential threshold ini sangat kentara keinginan memperoleh atau mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara tidak apik. Yang dibatasi adalah kompetitor tidak boleh masuk dalam kompetisi.

Sudah dihitung betul, paling banyak satu pasangan kompetitor yang dapat masuk dan kalau bisa yang paling lemah. Tapi mereka lupa, jika hanya dua pasangan capres, konfliknya bisa menuju 100 persen (harap diingat beberapa teori komunikasi juga dibangun ahli-ahli matematika, seperti Teori Informasi Shannon & Weaver).

Bandingkan dengan Pilpres 2004 yang capres-cawapresnya lima pasang, konfliknya sekitar 20 persen. Intensitas konflik saat itu sangat berbeda. Jika tidak ada yang unggul dalam satu putaran, tersedia putaran kedua.

Biasanya, kerugian hanyalah pada berkurangnya partisipasi pemilih pada putaran kedua karena ada yang akan merasa seolah-olah pilpres selesai ketika yang dia pilih gugur di putaran pertama. Tapi, itu jauh lebih baik daripada melahirkan bangsa yang terbelah!

Apa akibat selanjutnya? Nasib yang tak dapat ditolak adalah Pemilu serentak 2019 datang di tengah kejamnya media sosial. Sebagian besar energi bangsa habis untuk menganalisis, menengahi, atau mengajukan tuntutan di seputar hoaks.

Waktu KPU, Bawaslu, aparat negara, serta politisi habis digunakan memberantas hoaks. Mulai dari soal tujuh kontainer surat suara sudah tercoblos, server KPU yang sudah diseting sedemikian rupa di luar negeri, serta aneka ujaran kebencian dan pencemaran!

Sangat sedikit kita dengar waktu, tenaga, energi untuk sosialisasi dan simulasi apa yang akan terjadi pada pemilu serentak!

Lima tahun dan dua bulan lebih, bukan waktu yang pendek untuk menyosialisasikan, bahkan mengadakan beberapa kali simulasi sehingga kita akan tahu akibatnya bagi publik yang memilih, KPPS, panwas, polisi, dan pihak terkait saat pemilu serentak dilaksanakan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement