Rabu 24 Apr 2019 07:37 WIB

Dukacita dan Pemilu Serentak

Pemilu serentak menjadi wacana panas menyusul meninggalnya banyak petugas pemilu.

Pihak Pemohon Gugatan Undang-Undang No8 1995 Effendi Ghazali mengikuti sidang perdana gugatan undang-undang Pilkada di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (19/20).
Foto: Republika/ Wihdan
Pihak Pemohon Gugatan Undang-Undang No8 1995 Effendi Ghazali mengikuti sidang perdana gugatan undang-undang Pilkada di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (19/20).

Jika kita tiba-tiba terkejut dengan yang terjadi, itu berarti sosialisasi dan simulasi kita gagal. Di samping itu, tentu saja energi, waktu, dan tenaga bangsa ini seperti biasa habis tersedot membereskan daftar pemilih. Ini entah sudah jadi masalah berapa puluh tahun!

Berkali-kali dinyatakan jumlah pemilih beres, pembuatan KTP-elektronik memuaskan. Tapi, lihatlah sengkarut soal daftar pemilih tetap, belum lagi daftar pemilih tambahan, daftar pemilih khusus, tuntutan pembuatan KTP-elektronik berlarut sampai pemilu.

Ini semua terkait dengan pengadaan kertas suara, pembagian serta penambahan TPS, dan sebagainya. Jadi, kalau kita berpikir jernih, harusnya hal-hal ini yang harus diperbaiki di masa depan.

Jelaslah lebih baik dilaksanakan Pemilu Nasional Serentak (presiden, DPR, DPD) terpisah dengan Pemilu Daerah Serentak (kepala daerah, DPRD tingkat 1, DPRD tingkat 2). Misal, dengan jarak 2,5 tahun atau di tengah-tengah antara dua jenis pemilu serentak ini.

Amat jelas, tidak ada pemilu serentak di dunia yang memakai presidential threshold. Kalau sekarang seolah-olah ditemukan fakta pemilu serentak tidak menghasilkan efek ekor jas, itu sama-sekali bukan hal baru.

Kalau memakai presidential threshold, tidak akan ada efek ekor jas pada pemilu serentak. Bayangkan saja, nasib Partai Demokrat yang tidak begitu jelas keterkaitannya dengan capres yang ikut mereka dukung.

Bayangkan pula, kalau mereka bisa mengusung pasangan capres-cawapres sendiri, di mana AHY menjadi salah satunya. Di situ baru efek ekor jas dapat bekerja.

Selanjutnya, jika mempertahankan parliamentary threshold, misal empat persen, maka presidential threshold 0 (nol) persen berlaku untuk mereka. Artinya, partai yang sudah masuk parlemen bisa mengajukan capres-cawapres tanpa ambang batas.

Atau jika ambang batas DPR kita tinggikan jadi tujuh atau 10 persen (sehingga partai di DPR menjadi mengecil), presidential threshold nol persen berlaku bagi semua partai yang diloloskan KPU untuk mengikuti pemilu.

Karena di sinilah efek ekor jas bisa mengganti partai-partai yang sedang menghuni DPR kalau mereka ternyata bukan mengajukan capres terbaik. Sementara itu, partai nonparlemen ternyata mengajukan putra-putri terbaik bangsa sebagai capres-cawapresnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement