Rabu 24 Apr 2019 07:37 WIB

Dukacita dan Pemilu Serentak

Pemilu serentak menjadi wacana panas menyusul meninggalnya banyak petugas pemilu.

Pihak Pemohon Gugatan Undang-Undang No8 1995 Effendi Ghazali mengikuti sidang perdana gugatan undang-undang Pilkada di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (19/20).
Foto:
Effendy Ghazali

Biaya pelaksanaan pemilu serentak pun harus mencukupi setelah dihitung dengan baik. Bagaimana membandingkan, untuk pembangunan infrastruktur fisik bisa ribuan triliun, sedangkan untuk pemilu sebagai infrastruktur politik sangat ditarik-ulur biayanya.

Padahal, pada infrastruktur politik seperti pemilulah ditentukan pemimpin yang akan menentukan arah dan masa depan bangsa!

Pemilu serentak juga senantiasa diasumsikan akan membawa peningkatan partisipasi pemilih. Itu terbukti pada pemilu 17 April lalu. Namun seperti diprediksi, terdapat perbedaan partisipasi pada pemilihan presiden dan pemilihan legislatif.

Itu pun terkait langsung presidential threshold yang tidak jelas membawa efek ekor jas. Padahal, jika kesempatan mengajukan presiden terbuka lebar, capres-cawapres harus berkampanye bersama calon legislatifnya. Mereka harus saling mempromosikan.

Terakhir, sebetulnya Indonesia terbiasa dengan pemilu serentak. Saat Pemilu Legislatif tahun 2014, bangsa kita terbiasa dengan empat kertas suara untuk dicoblos. Jadi pada 17 April, hanya ditambah satu kertas suara untuk pemilihan capres-cawapres.

Mengenai lamanya waktu dan ketahanan kesehatan pelaksana pemilu seharusnya terdeteksi saat sosialisasi dan simulasi! Sayangnya, energi bangsa ini dan para pelaksana pemilu habis terkuras memerangi hoaks dan ujaran kebencian, gara-gara hanya terdapat dua kubu pasangan calon presiden!

Kalau saja sosialisasi dan simulasi terlaksana dengan baik dalam waktu lima tahun dua bulan lebih, bisa saja diputuskan pemilu serentak berlangsung dua hari. Hari pertama memilih presiden, DPR, dan DPD. Baru hari kedua memilih DPRD tingkat provinsi dan DPRD tingkat kabupaten kota.

Sambil terus mendoakan para 'pahlawan' pemilu serentak yang berpulang dalam melaksanakan tugasnya, marilah kita bersama-sama memperbaiki sistem pemilu kita dengan jernih.

Janganlah pengorbanan mereka sia-sia hanya karena bangsa ini terus dipaksa dengan pilihan hanya dua pasangan atau bahkan calon tunggal, yang bisa dipastikan lebih tajam konfliknya dengan ujaran kebencian pada era media sosial ini.

Akibatnya, tidak banyak waktu kita tersisa untuk melaksanakan manajemen pemilihan umum yang lebih tenang, tertib, dan memikirkan sungguh-sungguh kesejahteraan pemilih dan pelaksana pemilu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement