Rabu 06 Mar 2019 05:10 WIB

MK Diharap Segera Putuskan Uji Materi Soal Hak Pilih

Uji materi ini dilakukan demi menyelamatkan hak suara pemilih pada pemilu 2019.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Hasanul Rizqa
Mantan Wakil Menkum HAM, Denny Indrayana (tengah) bersama Penelitii utama NETGRIT, Hadar Nafis Gumay (ketiga kanan) dan Direktur PERLUDEM, Titi Anggraini (ketiga kiri) dan sejumlah aktivis Pemilu membentangkan spanduk usai mendaftarkan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terutama yang terkait dengan syarat prosedur administratif di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (5/3/2019).
Foto: Antara/Reno Esnir
Mantan Wakil Menkum HAM, Denny Indrayana (tengah) bersama Penelitii utama NETGRIT, Hadar Nafis Gumay (ketiga kanan) dan Direktur PERLUDEM, Titi Anggraini (ketiga kiri) dan sejumlah aktivis Pemilu membentangkan spanduk usai mendaftarkan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terutama yang terkait dengan syarat prosedur administratif di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (5/3/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Proses uji materi terhadap sejumlah aturan tentang hak pilih dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 diharapkan bisa cepat selesai. Hal itu disampaikan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Viryan. Menurut dia, kondisi saat ini sudah darurat untuk melindungi hak pilih warga.

"Kami berharap uji materi bisa segera (diputuskan) oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab kondisinya darurat," ujar ujar Viryan ketika dihubungi wartawan, Selasa (5/3).

Baca Juga

Kondisi ini berkaitan dengan adanya pemilih yang pindah memilih atau pemilih kategori daftar pemilih tetap tambahan (DPTb). Viryan mengungkapkan, pihaknya perlu merumuskan atau mengambil kebijakan teknis yang sangat bergantung pada putusan MK.

"Misalnya kalau tidak dikabulkan, maka sudah jelas langkah-langkah KPU. Kalau ada putusan tertentu, KPU perlu menyesuaikan diri, maka KPU bisa segera mengambil tindakan dari putusan MK," jelas dia.

Sebelumnya, dua orang mahasiswa yang berkuliah di Bogor mengajukan uji materi terhadap ketentuan pindah memilih dalam Pasal 210 ayat (1) ayat (2), dan ayat (3), Pasal 344 ayat (2) dan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Keduanya yakni Joni Iskandar sebagai Pemohon I dan Roni Alfiansyah Ritonga sebagai Pemohon II.

Joni Iskandar berasal dari Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. Dirinya tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) tempat asalnya. Pria ini juga tidak bisa mengurus pindah memilih ke Kabupaten Bogor sehingga terancam tidak bisa menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2019 nanti.

Sementara itu,  Roni Alfiansyah Ritonga berasal dari Kabupaten Labuhanbatu, Provinsi Sumatera Utara. Dia sudah tercatat dalam DPT di daerah asalnya. Kemudian dirinya pun telah mengurus keterangan pindah memilih ke KPU Kabupaten Bogor.

Namun, Roni mengaku masih khawatir bila tidak bisa memilih karena ada potensi kekurangan surat suara. Dia pun merasa tidak puas akibat kepindahan itu karena hanya mendapatkan satu surat suara, yakni terkait pemilihan presiden dan wakil presiden saja.

Kedua mahasiswa tersebut berpandangan, aturan pindah memilih berpotensi mencederai hak konstitusional mereka sebagai warga negara. Selain itu, sejumlah pihak lain melakukan uji materi terhadap UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

Uji materi ini dilakukan demi menyelamatkan hak suara pemilih pada pemilu 2019.

Kuasa Hukum Para Pemohon, Denny Indrayana, mengatakan uji materi UU Pemilu ini diajukan oleh tujuh pihak pemohon. Mereka yakni Perludem, Pendiri Netgrit Hadar Nafis Gumay, Direktur Pusako Universitas Andalas Fery Amsari, Warga Binaan Augus Hendy dan A. Murogi Bin Sabar serta karyawan swasta Muhamad Nurul Huda dan Sutrisno.

“Kami sudah mendaftarkan permohonan uji konstitusionalitas untuk UU Pemilu. Permohonan ini tujuan utamanya adalah menyelamatkan suara rakyat pemilih,” ujar Denny usai mendaftarkan uji materi di Gedung MK, Selasa (5/3).

Para pemohon ini menguji pasal 348 ayat (9), Pasal 348 ayat (4), Pasal 210 ayat (1), Pasal 350 ayat (2), dan Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu. Pasal-pasal ini dinilai menghambat dan berpotensi menghilangkan hak pemilih dan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 28I ayat (4).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement