REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva menilai, KPU melanggar kode etik karena tidak menjalankan putusan PTUN soal pencalonan Oesman Sapta Odang (OSO) sebagai anggota DPD. Menurut Hamdan, KPU wajib mentaati undang-undang dan mematuhi putusan pengadilan.
Pada Rabu (20/2), Hamdan menjadi saksi ahli dari pihak Bawaslu dalam sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Sidang tersebut mengagendakan pemeriksaan terhadap KPU dan Bawaslu serta saksi ahli terkait pencalonan OSO. Hamdan mengatakan KPU dan Bawaslu sama-sama dilaporkan ke DKPP soal dugaan pelangggaran kode etik. Namun, menurut Hamdan, tindakan Bawaslu yang mengeluarkan rekomendasi atas putusan kasus dugaan pelanggaran administrasi pencalonan OSO sebagai anggota DPD sudah tepat.
"Itulah kewajiban hukumnya yang harus dilakukan oleh KPU. Kalau dia tidak melaksanakan, maka ini (rekomendasi) mengingatkan KPU bahwa harus melaksanakan putusan pengadilan. Dia yang salah secara etik," ujar Hamdan kepada wartawan di Gedung Bawaslu, Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (13/2).
Hamdan lantas menjelaskan tentang posisi putusan Mahkamah Konstitusi (MK), putusan Mahkamah Agung (MA) dan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam polemik pencalonan OSO sebagai anggota DPD. Putusan MK, kata dia, merupakan putusan soal norma. Artinya, MK mengadili tentang norma, apakah suatu norma yang ada dalam undang-undang itu bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak. Karenanya, level putusan MK adalah norma yang diwujudkan dalam undang-undang.
Kemudian, pelaksanaan ada dalam organisasi negara yang melaksanakan putusan tersebut. Dalam konteks pencalonan OSO, yang melaksanakan norma adalah KPU.
KPU lantas membuat Peraturan KPU (PKPU) untuk melaksanakan norma yang diputuskan oleh MK. Selanjutnya, terhadap implementasi PKPU ada yang kembali menggugat ke MA. "Putusan MA itu jelas, bahwa sepanjang tidak memberlakukan surut, maka norma yg dikeluarkan oleh KPU itu adalah benar. Artinya apa, kalau dia (KPU), memberlakukan surut terhadap proses yang sudah ada, itu adalah ilegal norma yg dibuat oleh KPU itu," ungkap Hamdan.
Setelah itu, ada lagi pihak yang maju ke PTUN untuk menggugat implementasi norma. PTUN, lanjut Hamdan, dalam hal ini merupakan pengadilan fakta. Karena itu, putusan dalam pengadilan fakta ini harus dilaksanakan sebagaimana adanya. Hamdan menegaskan bahwa putusan PTUN harus dilaksanakan.
"Itu harus dilaksanakan. Tidak boleh kita menyatakan saya tidak mau melaksanakan karena tidak sesuai keputusan MK. Itu pikiran hukum dari mana?. Ini beda, sebab MK itu tingkatnya norma undang-undag, sementara norma undang-undag itu tidak akan ada artinya kalau tidak dibuatkan putusan konkretnya," tegas Hamdan.
Putusan konkret itu, kata dia, akan menjadi pegangan dalam prilaku dan kebijakan sehari-hari. Meski demikian, Handan tetap menyerahkan penilaian soal dugaan pelangggaran kode etik ini kepada DKPP.
"Tadi saya hanya mengatakan bahwa KPU kewajibannya adalah melaksanakan undang-undang dan melaksanakan putusan pengadilan. Kalau dia tidak melaksanakan putusan pengadilan itu bagian daripada pelanggaran etik," tambahnya.
Sebagaimana diketahui, KPU dan Bawaslu dilaporkan oleh kubu OSO atas dugaan pelanggaran kode etik ke DKPP. KPU dilaporkan karena tidak menjalankan putusan MA, putusan PTUN dan putusan Bawaslu yang memerintahkan KPU membatalkan dan mencabut Keputusan KPU Nomor 1130/PL.01.04-Kpt/06/KPU/IX/2018 tanggal 20 September 2018 Tentang Penetapan DCT Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD. Selain itu, putusan juga memerintahkan KPU untuk menerbitkan SK baru DCT Anggota DPD dengan mencantumkan nama OSO di dalamnya.
Sementara Bawaslu dilaporkan karena dalam putusannya soal dugaan pelangggaran administrasi, menyebutkanwa OSO harus mengundur diri dari parpol sehari sebelum pelantikan dan penetapan anggota DPD terpilih. Jika tidak mengundur diri, maka OSO tidak bisa dilantik menjadi anggota DPD.