REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi VIII yang membidangi Agama, Sosial, Pemberdayaan Perempuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) terus melakukan pembahasan agar Rancangan Undang-undang Penghapuaan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Pembahasan dilakukan untuk menghindari multitafsir di masyarakat terkait poin dalam RUU tersebut.
Wakil Ketua Komisi VIII Fraksi Golkar Ace Hasan Syadzily menuturkan DPR akan membahas daftar isian masalah dala RUU tersebut dengan pemerintah eksekutif. DPR juga melakukan kajian agar tidak ada pasal-pasal yang berpotensi menimbulkan kontroversi.
Ace menjelaskan, yang ditekankan dalam RUU ini adalah upaya pencegahan dan rehabilitasi bagi korban kekerasan seksual. "Jangan sampai itu menimbulkan tafsir yang berbeda. Hubungan seks suka sama suka, LGBT itu tidak boleh ada penafsiran seperti itu. Poin yang harus ditekankan pada UU penghapusan kekerasan seksual itu adalah perlu rekomendasi pencegahan dan rehabilitasi untuk korban kekerasan seksual," kata Ace saat dikonfirmasi.
Ace mengakui, RUU ini masih menjadi pro dan kontra di masyarakat. Kelompok yang mendukung RUU ini memandang perlunya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk lebih melindungi para korban, menghukum para pelaku, hingga upaya pencegahan. Semenrara, sebagian orang menentang RUU ini lantaran munculnya penafsiran bahwa RUU ini membuka peluang perzinahan hingga memberikan ruang LGBT.
Menyikapi perbedaan di masyarakat, Ace pun menegaskan, Komisi VIII berhati-hati untuk membahas RUU ini, terutama mencari titik temu definisi kekerasan seksual itu. "Sehingga, tidak bisa menimbulkan penafsiran yang bermacam macam seperti seks bebas, LGBT, karena kami juga menentang itu, bertentangan dengan norma agama yang kita yakini," ujar Poltikus Golkar itu.
Dalam pembahasan Komisi VIII sendiri, RUU ini masih belum mendapatkan persetujuan bulat, terutama dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Fraksi PKS menginginkan adanya sejumlah perubahan dalam frasa-frasa RUU tersebut. Ada empat poin perubahan yang dapat menjadi pertimbangan dalam pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tersebut.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Iskan Qolba Lubis.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Fraksi PKS Iskan Qolba Lubis melalui keterangannya menjelaskan, perubahan pertama adalah pergantian nomenklatur 'kekerasan seksual' menjadi 'kejahatan seksual'. Menurutnya penggunaan nomenkaltur yang konsisten menjadi penting agar RUU P-KS ini dapat berkorelasi dengan perundang-undangan lainnya.
"Ini juga untuk mendorong agar RUU tersebut dapat diaplikasikan secara menyeluruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," kata dia.
Perubahan kedua yang diajukan oleh F-PKS adalah perubahan definisi dari kekerasan seksual itu sendiri. Iskan menuturkan definisi yang dirumuskan dalam RUU P-KS ini masih ambigu sehingga menimbulkan keraguan, kekaburan, dan ketidakjelasan. “Ketidakejalasan definsi ini dalam kontruksi hukum sangat menyulitkan sehingga akan rawan kriminalisasi ke depannya," ujarnya.
Fraksi PKS mengajukan usulan definisi menjadi "Kejahatan Seksual adalah setiap perbuatan seksual terhadap tubuh dan fungsi reproduksi, secara paksa, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, bahkan kehilangan nyawa".
Perubahan ketiga yang disoroti oleh Fraksi PKS berkaitan dengan peran pemerintah untuk melakukan langkah-langkah preventif terhadap kejahatan seksual. Diantaranya menurut Iskan adalah dengan mewajibkan kepada pemerintah untuk memerangi pornografi, peredaran ilegal narkotika dan psikotropika, serta minuman keras sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pencegahan kejahatan seksual.
Terakhir, F-PKS mengajukan untuk menambahkan nilai "Ketuhanan Yang Maha Esa" menjadi asas pertama dalam Rancangan Undang-undang tersebut.