Selasa 22 Jan 2019 16:29 WIB

Dilaporkan ke Polisi, KPU: Sikap Soal OSO tak Berubah

KPU tetap menunggu pengunduran diri OSO sebagai Ketum Partai Hanura.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Bayu Hermawan
Komisioner KPU Wahyu Setiawan di Posko Cemara, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (18/9).
Foto: Republika/Bayu Adji P
Komisioner KPU Wahyu Setiawan di Posko Cemara, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (18/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan mengatakan, sejumlah langkah hukum yang ditempuh pihak Oesman Sapta Odang (OSO) tidak akan mengubah sikap mereka. KPU tetap berpegang kepada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan menunggu surat pengunduran diri OSO sebagai Ketua Umum Partai Hanura.

Menurut, Wahyu sikap KPU mengenai polemik pencalonan OSO sebagai anggota DPD sudah jelas. "Putusan itu sudah kami cantumkan dalam surat (surat tertanggal 15 Januari 2019)," ujar Wahyu kepada wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (22/1).

Sehingga, lanjut Wahyu, tidak ada perubahan sikap dari KPU soal polemik pencalonan OSO. "Sudah pasti (sikap tersebut)," tegasnya.

Artinya, KPU tetap menunggu surat pengunduran diri dari OSO hingga pukul 24.00 WIB malam ini. Jika surat pengunduran diri disampaikan menjelang batas waktu berakhir pun, KPU masih punya waktu mengakomodasi nama OSO ke dalam daftar calon tetap (DCT) calon anggota DPD Pemilu 2019 dan surat suara.

"Yang jelas kalau tidak diserahkan ya (nama OSO) tidak masuk. Sebaliknya kalau diserahkan ya kami masih punya waktu cukup memungkinkan untuk pencetakan (surat suara anggota DPD). Tidak perlu khawatir," jelasnya.

Sebelumnya, OSO memastikan tidak akan menyerahkan surat pengunduran diri sebagai pengurus Partai Hanura kepada KPU OSO justru menempuh empat langkah hukum untuk menghadapi polemik pencalonannya sebagai anggota  DPD. Salah satu upaya hukum yang ditempuh adalah melaporkan KPU ke Polda Metro Jaya.

Laporan ke Polda Metro Jaya ini tertanggal 16 Januari 2019 dengan NomorLP/334/1/2019/PMJ/Dit.Reskrimum. Pihak yang dilaporkan adalah Ketua KPU Arief Budiman dan enam komisioner KPU. Mereka dianggap melanggar Pasal 421 KUHP jo 216 ayat (1) KUHP karena tidak melaksanakan perintah undang-undang atau tidak menjalankan putusan PTUN atau Bawaslu.

Ketentuan pasal 421 KUHP berbunyi "seorang pejabat yang menyalagunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan".

Sementara itu, pasal 216 ayat (1) berbunyi "Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana: demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah,".

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement