REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Budi Mohamad Arief mengatakan, iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) seharusnya bisa dinaikkan. Kondisi keuangan BPJS Kesehatan diketahui terus mengalami defisit.
"Yang terbanyak adalah penerima bantuan iuran. Kalau iuran dinaikkan, maka akan memberikan porsi besar bagi BPJS Kesehatan," kata Budi dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (15/1).
Budi mengatakan, bila ada kenaikan iuran, maka juga bisa ada kenaikan tarif yang dibayarkan ke rumah sakit. Hal itu akan diatur Kementerian Kesehatan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Budi mengatakan, pada 2018 BPJS Kesehatan mengalami defisit hingga Rp 16 triliun. Dalam menghadapi defisit, maka ada tiga kemungkinan langkah yang diambil, yaitu menaikkan iuran, menurunkan layanan kesehatan, dan meminta bantuan pemerintah.
"Yang sudah dilakukan saat ini adalah pemerintah memberikan bantuan Rp 10 triliun secara bertahap. Namun, apakah BPJS Kesehatan akan selalu diselamatkan dengan cara seperti itu?" tuturnya.
Menurut Budi, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan tengah mengaudit BPJS Kesehatan dan sejumlah rumah sakit yang akan menjadi acuan pemerintah dalam memberikan bantuan. "Perbaikan-perbaikan terus kami lakukan. Bagi kami, tidak ada kata JKN berhenti karena banyak masyarakat yang merasakan manfaatnya," katanya.
Mohamad Arief mengungkapkan, lembaganya selama 2018 lalu berhasil mengumpulkan iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) sekitar Rp 230 triliun. Tetapi pembiayaan (pelayanan kesehatan) sekitar Rp 251 triliun.
"Jadi seperti yang sudah banyak diberitakan dan dinyatakan pimpinan bahwa kami (BPJS Kesehatan) defisit sekitar Rp 16,5 triliun," katanya.
Di tempat yang sama, Tenaga Ahli Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany menyoroti kurangnya jumlah iuran untuk menutupi pembiayaan JKN-KIS. Menurutnya, premi JKN-KIS yang dibayar peserta pekerja penerima upah bergaji tinggi masih kurang.
"Misalnya pegawai yang gajinya Rp 100 juta sayangnya hanya membayar iuran JKN-KIS maksimal Rp 8 juta," katanya.
Menurutnya, seharusnya pembayaran iuran berdasarkan take home income sehingga peserta yang gajinya lebih tinggi membayar iuran lebih banyak. Ia mengibaratkan pembayaran iuran JKN-KIS ini sama seperti membayar pajak yaitu dengan konsep progresif. Dengan demikian, dia menambahkan, jumlah iuran JKN-KIS yang dikumpulkan bisa semakin banyak.
Sementara itu anggota Kompartemen Jaminan Sosial Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), Odang Muchtar menyebutkan, persoalan defisit BPJS Kesehatan bisa ditutupi dengan opsi lainnya yaitu mengumpulkan dana dari masyarakat yang memiliki kendaraan bermotor dan akan membayar pajak.
"Mereka kan pasti membayar pajak kendaraan bermotor setiap tahun. Di momen itu pemerintah bisa menarik iuran sekaligus saat membayar pajak kendaraan bermotor, kemudian tinggal dikalikan saja kan banyak (iuran dari masyarakat pembayar pajak kendaraan bermotor)," ujarnya.