Rabu 26 Dec 2018 21:34 WIB

Saksi Sebut Idrus Beri Eni Saragih 18 Ribu Dolar Singapura

Tiga saksi hari ini dihadirkan di persidangan Eni Saragih.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Mantan Menteri Sosial Idrus Marham memberikan keterangan seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (28/11).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Mantan Menteri Sosial Idrus Marham memberikan keterangan seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (28/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam persidangan lanjutan perkara suap  pembangunan proyek  PLTU Riau -1 dengan terdakwa mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, Rabu (26/12), jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan tiga orang saksi. Tiga saksi yang hadir yakni Tahta Maharaya selaku tenaga ahli di DPR dan keponakan Eni; Indra Purmandani selaku Direktur PT Raya Energi dan Prihadi Santoso‎ selaku Direktur PT Smelting.

Dalam persidangan, terungkap selain dari para pengusaha, menurut Tahta, Eni juga pernah menerima 18 ribu dolar Singapura dari Idrus Marham. "Seingat saya waktu itu, saya ke tempat Pak Idrus Marham dan ada penerimaan 18 ribu dolar Singapura. Saat itu Pak Idrus tidak ngomong apa-apa," kata Tahta di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (26/12).

‎Sebelumnya saat menjadi saksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (1/11) untuk terdakwa Johanes B Kotjo, Idrus Marham sempat menceritakan ihwal operasi tangkap tangan (OTT) di rumahnya pada 13 Juli 2018. Saat itu, Idrus Marham mengaku kesal dengan Eni yang meminjam uang kepadanya.

"Saya kaget dan marah karena Eni juga masih pinjam uang ke saya. Saya bukan pengusaha, dia mengatakan ingin ke daerah. Dia katakan pinjam berapa saja bang, saya bukan pengusaha. Akhirnya saya berikan 18 ribu dolar Singapura. Itu uang obat saya," ungkap Idrus Marham saat itu.

Dalam persidangan kali ini, Jaksa KPK juga terus mencecar Tahta apakah mengenal Samin Tan selaku Pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal. Diketahui, dalam dakwaan Eni, disebut Samin Tan memberikan Rp 5 miliar pada Eni.

"‎Dengan Samin Tan saya tidak kenal. ‎Saya hanya pernah ketemu satu kali dengan staf Pak Samin Tan namanya Bu Neni. Itu pun atas instruksi ibu (Eni). Kalau tidak salah pertemuannya Mei 2018," kata Tahta.

Tahta mengaku pernah disuruh Eni  untuk menghubungi Neni. Setelah menghubungi Neni, mereka bersepakat bertemu di Plaza Senayan.‎

"Neni bilang ke saya, one point two. Lalu saya teruskan lagi ke ibu Eni melalui pesan WhatsApp.‎ Saya kurang ingat saat itu apa respons Ibu Eni," ungkap Tahta.

Masih dalam persidamgan, Tahta juga membenarkan adanya pernyataan dari Neni yang menyebut  Samin Tan akan memberikan uang sejumlah Rp 5 miliar dalam waktu sepekan secara tiga tahap. Bahkan setelah pertemuan tersebut, menurut Tahta, ada pertemuan selanjutnya.

Dalam pertemuan selanjutnya, Tahta bertemu dengan staf dari Neni bernama Hendry di Menara Merdeka, di Jalan Budi Kemuliaan. Saat itu,  Hendry, menitipkan satu bundel dokumen untuk diserahkan kepada Eni.

Terakhir di pertemuan ketiga pada 22 Juni 2018, Neni memerintahkan Tahta kembali datang ke Menara Merdeka di lantai 5.  "Saya bertemu staf ibu Neni, lalu diberikan tas olahraga warna hitam. Isinya saya tidak tahu apa. Cuma saya diminta tanda tangan di tanda terima. Dalam tanda terima itu, tulisannya "buah satu kwintal". Pas penyidikan saya baru tahu isi tasnya uang Rp 1 miliar," ujar Tahta.

Selain menerima dari Neni, Tahta juga mengakui pernah menerima uang dari Ratna, sekretaris terdakwa Johannes B Kotjo sebanyak empat kali di Graha BIP, Gatot Subroto. Untuk penerimaan pertama, Ratna memyerahkan amplop kepada Tahta pada akhir 2017.

Saat itu, Tahta mengaku tidak tahu isi amplop tersebut, dia hanya diminta menandatangani tanda terima. Sementara isi amplop baru diketahui Tahta saat penyidikan di KPK, yang ternyata isinya cek dengan nominal Rp 2 miliar.‎ Adapun setelah menerima amplop dari Ratna, Tahta langsung menyerahkan kepada Eni pada malam harinya.

Tak hanya sekali, pada Maret 2018, Eni menyuruh Tahta untuk kembali menemui Ratna. Dalam pertemuan kedua, Tahta menerima dua plastik hitam. Dan ia mengaku baru mengetahui tentengan itu berisi uang Rp 2 miliar saat diperiksa oleh penyidik KPK.

"Langsung menyerahkan kantong plastik hitam ke rumah Eni pada hari yang sama," kata Tahta.

Kemudian, penerimaan ketiga berlangsung pada 8 Juni 2018. Saat itu, Eni kembali menyuruh Tahta kembali bertemu Ratna. Dalam pertemuan tersebut, Ratna menyerahkan tas kantung kertas berwarna cokelat.

"Saya tidak tahu isi paper bag itu karena sudah dibungkus rapi. Bungkusan itu langsung saya serahkan juga ke Bu Eni. Di penyidikan jumlahnya Rp 250 juta," ungkap Tahta.

Kemudian, penerimaan terakhir terjadi 13 Juli 2018 , saat tangkap tangan oleh KPK. Sebelum penangkapan, Ratna menyerahkan amplop dengan isi Rp 100 juta, Rp 200 juta, dan Rp 200 juta. Sehingga bila ditotal adalah Rp 500 juta.

Selain dari pengusaha Johannes B Kotjo, Tahta mengungkapkan, politikus Partai Golkar itu juga menerima uang dari beberapa pengusaha yang lain. Salah satunya yakni dari Indra Purmandani yakni Direktur PT Raya Energi.

"Ada penerimaan dari Pak Indra melalui rekening, saya lupa berapa kali‎. Tapi tidak disebutkan uang dari siapa," ungkapnya.

"Setiap kali transfer, Pak Indra kasih tahu. Mas ada yang masuk ke rekening. Saya balas, oh iya pak dan saya tidak tanya berapa. Totalnya berapa saya juga tidak tahu," ungkap Tahta.

Hadir sebagai saksi, Indra yang juga merupakan teman dekat Eni mengakui pernah dilibatkan Eni menerima uang dari beberapa pengusaha. Uang itu dipakai buat keperluan Pilkada suami Eni, M Al Khadziq di Temanggung.

"Pernah ketika ibu bicara kebutuhan sosial di Temanggung, saya waktu itu asumsikan Pilkada. Yang saya terima waktu itu dari Herwin Tanjung Wijaya, Iswan Ibrahim dan Prihadi Santoso," tutur Indra.

Adapun, penerimaan uang dari Herwin berjumlah 32 ribu dolar Singapura dan Rp 97,5 juta baik dengan cara transfer ataupun tunai. Sementara uang dari Iswan berjumlah Rp 200 juta dengan rincian Rp 100 juta tiap pemberian ke Indra.

Usai persidangan, Eni mengakui meminta bantuan. Namun, bantuan tersebut menurutnya bantuan terhadap sesama teman berupa zakat.

Diketahui sebelumnya, Eni didakwa menerima suap Rp 4,7 miliar dari pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd, Johanes Kotjo. Uang diduga diberikan agar Eni membantu Kotjo mendapatkan proyek PLTU Riau-1.

Proyek rencananya akan dikerjakan oleh PT Pembangkit Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company yang dibawa kotjo. Selain Suap, Eni juga didakwa menerima gratifikasi Rp 5,6 miliar dan 40 ribu dolar Singapura dari sejumlah direktur perusahaan di bidang minyak dan gas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement