REPUBLIKA.CO.ID, XINJIANG -- Laporan-laporan soal kondisi mengenaskan etnis Uighur yang mengalami penahanan dalam kamp-kamp reedukasi di Xinjiang terus bermunculan. Belakangan, sejumlah media internasional mengungkapkan, Pemerintah Cina mempekerjakan paksa para tahanan etnis Uighur dan Kazakhs di kamp-kamp reedukasi tersebut.
Menurut kesaksian-kesaksian yang dikumpulkan the Associated Press dan dilansir pada Selasa (18/12), para tahanan dipaksa bekerja setelah menjalani indoktrinasi Partai Komunis Cina, dilarang menggunakan bahasa etnis mereka, dan tak boleh menjalankan ritual-ritual agama Islam.
Belasan yang sempat ditahan atau memiliki anggota keluarga dalam kamp menuturkan para tahanan tak diberi pilihan lain selain bekerja di pabrik-pabrik di sekitar kamp reedukasi. Sebagian koridor antara kamp tahanan dan pabrik-pabrik itu dilaporkan dipagari kawat duri dan diawasi dari menara.
Seorang saksi mata yang menyaksikan langsung operasional kamp mengungkapkan, pada sebuah kamp reedukasi, sebanyak 10 ribu tahanan atau 10 hingga 20 persen dari pesakitan di lokasi itu dipaksa bekerja di pabrik. Mereka dibayar hanya sekitar sepersepuluh dari yang biasanya mereka dapatkan sebelum ditahan.
"Kamp tak membayar upah sepeser pun," kata Elyar, seorang pelarian dari Xinjiang.
The Associated Press juga melacak hasil kerja paksa di Xinjiang dikapalkan untuk perusahaan pakaian olahraga Badger Sports wear di Statesville, North Carolina. Pihak Badger Sportswear menyatakan akan menyelidiki temuan tersebut.
Financial Times yang mewawancarai keluarga enam tahanan Uighur dan Kazakh juga melaporkan, para tahanan dipekerjakan tanpa bayaran setelah lulus dari pusat penahanan. Mereka tak boleh meninggalkan pabrik dan hubungan dengan keluarga sangat ketat diawasi.
Media itu juga melaporkan, di dua kamp reedukasi terbesar di Kashgar dan Yuti an, kerja paksa dimulai sejak awal tahun ini. Kamp penahanan Yuti an dikitari delapan pabrik yang bergerak dalam usaha pembuatan sepatu, perakitan telepon genggam, dan pengepakan teh. Para tahanan dibayar dengan upah sekitar Rp 3 juta per bulan, tetapi tak boleh meninggalkan kamp.
Sementara itu, the New York Times (NYT) pada Ahad (16/12) menurunkan laporan pencitraan satelit dan dokumen-dokumen resmi menunjukkan jumlah tahanan yang dikirimkan ke pabrik-pabrik terus bertambah. Warga yang ditahan jadi sumber tenaga kerja paksa tak berbayar atau dibayar dengan upah rendah bagi pabrik-pabrik tersebut, kata Mehmet Volkan Kasikci, seorang peneliti di Turki yang mengumpulkan kesaksian dari para tahanan yang sempat ditemui keluarga mereka. "Kisah-kisah seperti ini terus berdatangan," ujar Mehmet.