Jumat 14 Dec 2018 00:12 WIB

KPK Akui Ada Penyelidikan Baru Kasus Suap PLTU Riau-1

Penyelidikan baru dilakukan berdasarkan fakta-fakta dari persidangan.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif saat di wawancarai Republika, Jakarta, Senin (10/12).
Foto: Republika/Prayogi
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif saat di wawancarai Republika, Jakarta, Senin (10/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengakui membuka penyelidikan baru kasus dugaan suap proyek pembangunan PLTU Riau-1. Penyelidikan baru dilakukan berdasarkan fakta-fakta dari persidangan.

"Kami sedang menyelidiki sekarang itu dan tentunya fakta-fakta yang ada di persidangan itu menjadi bukti-bukti tambahan yang bisa kita pakai," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarief di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (13/12).

Syarif memastikan semua pihak yang ikut berperan dalam skandal PLTU Riau-I ini tidak akan lepas dari jeratan hukum. "Semua pihak-pihak lain yang dianggap mengetahui dan mungkin ikut berperan di dalam itu, ya masih dalam proses lidik," tegasnya.

Dalam putusan terdakwa Johannes Budisutrisno Kotjo, Dirut PLN Sofyan Basir disebut ikut berperan meloloskan perusahaan Blackgold Natural Recourses Limited sebagai konsorsium penggarap proyek PLTU Riau-I. Sofyan disebut sebagai pihak yang menawarkan proyek PLTU Riau-I kepada Setya Novanto dan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih.

Sebelumnya, pada Senin (10/12), Direktur PLN Sofyan Basir dihadirkan menjadi saksi dalam persidangan terdakwa kasus suap pembangunan proyek PLTU Riau-1 mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih. Dalam persidangan, Sofyan  menjelaskan alasan dilakukannya skema penunjukkan langsung dalam proyek tersebut agar memberikan keuntungan sepenuhnya bagi masyarakat.

Kepada Majelis Hakim Sofyan menjelaskan skema penunjukan langsung yang dipilih berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Dalam aturannya, PT PLN Persero menunjuk anak usahanya melaksanakan sembilan proyek IPP, salah satunya proyek PLTU Riau 1.

"Sesuai keputusan direksi, saya sebagai pemegang saham memberikan penugasan pada anak usaha PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) pada Mei 2017," tutur Sofyan di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (11/12).

Dalam Perpres tersebut, PT PJB wajib memiliki 51 persen saham dalam konsorsium, agar anak usaha PLN yang ditunjuk itu mendapat keuntungan terbesar. Sofyan menerangkan, di Sumatra banyak potensi tambang batubara milik swasta yang tidak punya akses untuk menjual batubara ke luar pulau. Di sisi lain, masyarakat di Sumatera membutuhkan pasokan listrik yang cukup dengan tarif yang murah.

Oleh karenanya, PLN berencana membangun pembangkit listrik di area mulut tambang batubara milik swasta yang dimiliki oleh PT Samantaka Batubara. Sehingga, terjadi efisiensi transportasi, karena pembangkit listrik ada di sebelah tambang.

"Karena mulut tambang jadi potensi bagi PLN, khususnya di Sumatera. Banyak juga pengusaha pemilik tambang, yang tidak punya akses dijual, di lain pihak, potensi ini ada kalau PLN membangun pembangkit di sisi mulut tambang, sehingga batu bara itu tidak perlu dibawa keluar dari lokasi. Efisien yang besar, " terang Sofyan.

"Yang bawa nilai bagi batubara adalah PLN, kami diskusikan ini, dan menyatakan bahwa kami PLN berhak menguasai pembangkit itu. Karena tanpa PLN, batubara si swasta ini tidak ada artinya," tambah Sofyan.

PLN kemudian menawarkan agar investor swasta tidak perlu mengikuti tender.  Kemudian, sambung Sofyan, PLN dapat mengatur harga proyek. Bahkan, PLN juga mendapat keuntungan dari deviden, karena memiliki saham 51 persen.

"Ini metode baru yang merupakan terobosan. Kalau mau jujur, pengusaha tidak suka cara ini. Pola ini harus kami lakukan karena PLN harus kuasai hajat hidup orang banyak. Jangan sampai dikuasai pihak swasta," kata Sofyan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement