Selasa 11 Dec 2018 21:25 WIB

Sidang Ungkap Penunjukan Langsung PLN di Proyek PLTU Riau-1

Dirut PLN Sofyan Basir hari ini menjadi saksi perkara suap proyek PLTU Riau-1.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Direktur Utama PLN, Sofyan Basir (kiri) dan Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN Supangkat Iwan Santoso (kanan) berjalan saat jeda sidang   di pengadilan Tindak Pidana Korupsi,Jakarta, Selasa (11/12).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Direktur Utama PLN, Sofyan Basir (kiri) dan Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN Supangkat Iwan Santoso (kanan) berjalan saat jeda sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi,Jakarta, Selasa (11/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur PLN Sofyan Basir kembali dihadirkan menjadi saksi dalam persidangan terdakwa kasus suap pembangunan proyek PLTU Riau-1, mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih. Dalam persidangan, Sofyan  menjelaskan alasan penunjukan langsung dalam proyek tersebut.

Kepada Majelis Hakim, Sofyan menjelaskan skema penunjukan langsung yang dipilih berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Dalam aturan itu, PT PLN Persero menunjuk anak usahanya melaksanakan sembilan proyek IPP, salah satunya proyek PLTU Riau 1.

"Sesuai keputusan direksi, saya sebagai pemegang saham memberikan penugasan pada anak usaha PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) pada Mei 2017," tutur Sofyan di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (11/12).

Dalam Perpres tersebut,  PT PJB wajib memiliki 51 persen saham dalam konsorsium, agar anak usaha PLN yang ditunjuk itu mendapat keuntungan terbesar. Sofyan menerangkan, di Sumatra banyak potensi tambang batubara milik swasta yang tidak punya akses untuk menjual batubara ke luar pulau.

Di sisi lain, masyarakat di Sumatra membutuhkan pasokan listrik yang cukup dengan tarif yang murah. Oleh karenanya, PLN berencana membangun pembangkit listrik di area mulut tambang batubara milik swasta yang dimiliki oleh PT Samantaka Batubara. Tujuannya agar terjadi efisiensi transportasi, karena pembangkit listrik ada di sebelah tambang.

"Karena mulut tambang jadi potensi bagi PLN, khususnya di Sumatra. Banyak juga pengusaha pemilik tambang, yang tidak punya akses dijual, di lain pihak, potensi ini ada kalau PLN membangun pembangkit di sisi mulut tambang, sehingga batu bara itu tidak perlu dibawa keluar dari lokasi. Efisien yang besar, " terang Sofyan.

"Yang bawa nilai bagi batubara adalah PLN, kami diskusikan ini, dan menyatakan bahwa kami PLN berhak menguasai pembangkit itu. Karena tanpa PLN, batubara si swasta ini tidak ada artinya," tambah Sofyan.

PLN kemudian menawarkan agar investor swasta tidak perlu mengikuti tender.  Kemudian, sambung Sofyan, PLN dapat mengatur harga proyek. Bahkan, PLN juga mendapat keuntungan dari deviden, karena memiliki saham 51 persen.

"Ini metode baru yang merupakan terobosan. Kalau mau jujur, pengusaha tidak suka cara ini. Pola ini harus kami lakukan karena PLN harus kuasai hajat hidup orang banyak. Jangan sampai dikuasai pihak swasta," kata Sofyan.

Saksi lainnya yang dihadirkan Jaksa KPK, Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN Persero Supangkat Iwan Santoso mengungkapkan, PT Samantaka dua kali berkirim surat ke PLN agar mendapatkan proyek PLTU Riau-1. Hal tersebut diungkapkan Supangkat setelah Majelis Hakim menanyakan apakah PT Samantaka  pernah mengajukan permohonan ke PLN.

"Ada dua kali permohonan usulkan proyek PLTU Riau-1. Pertama awal 2015 dan akhir 2015," ungkap Supangkat.

Diketahui, dalam dakwaan pemegang saham BNR Johanes Budisutrisno Kotjo, salah satu anak perusahaan BNR yakni PT Samantaka Batubara pernah mengirimkan surat yang tidak langsung direspon oleh PLN. Dalam persidangannya, Kotjo juga mengaku  meminta bantuan pada Setya Novanto.

Setya Novanto akhirnya mengenalkan Kotjo kepada Eni Maulani Saragih. Setelah perkenalan itu, Eni pun mengenalkan Kotjo kepada Sofyan hingga dilakukanlah sejumlah pertemuan untuk merealisasikan PLTU Riau-1 dan PT Samantaka Batubara mendapatkan tender tersebut.

Masih dalam keterangan Supangkat, ia mengungkapkan bahwa, dalam menentukan lokasi pembangunan pembangkit listrik PLN meminta persetujuan terlebih dahulu di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sebelum persetujuan teesebut, Divisi perencanaan PLN sudah melakukan analisa dan evaluasi dari berbagai masukan yang diterima dari direktorat regional.

"Analisis evaluasi dan keputusannya dibuat PLN lebih dulu kemudian diuji Kementrian ESDM. Dan yang mengaprove nantinya adalah Menteri ESDM karena Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL)  tidak hanya bicara korpoasi PLN tapi juga penyediaan listrik secara merata dengan biaya termurah yang bisa didapat," terang Supangkat.

Dalam keterangannya, Supangkat juga mengungkapkan bahwa pihak swasta bisa mengusulkan lokasi pembangunan pembangkit listrik kepada PLN.  "Masukan dari manapun pihak swasta, ini ditampung oleh PLN. Jadi sekadar usulan yang diterima," terang Iwan.

Menurutnya, dalam menentukan lokasi pembangunan pembangkit listrik, PLN akan lebih mengutamakan pada adanya kebutuhan listrik di suatu wilayah. Menurut dia, RUPTL akan berpedoman pada ketersedian tenaga listrik dengan biaya murah.

Barulah, setelah itu, Divisi Perencanaan PLN akan melakukan analisis dan evaluasi dari berbagai masukan yang diterima dari direktorat regional. Kemudian, hasil evaluasi akan dimintai persetujuan oleh Kementerian ESDM.

Sementara, Eni usai sidang mengatakan tidak pernah memaksakan PLN mengikuti skenario investor. "Saya selalu meminta kepada investor dalam hal ini saya ketemu dengan pak Kotjo untuk ikut skenario PLN," kata Eni.

Dalam perkara ini, Eni Maulani Saragih didakwa menerima suap sebesar Rp 4,7 miliar secara bertahap dari pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo. Uang tersebut diduga berkaitan dengan proyek pembangunan mulut tambang PLTU Riau-1. Selain itu, Eni juga didakwa menerima gratifikasi berupa uang sebesar Rp 5, miliar dan 40 ribu dolar Singapura dari beberapa direktur dan pemilik perusahaan yang bergerak di bidang minyak dan gas

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement