Sabtu 08 Dec 2018 15:15 WIB

Pangkas SKS, Kemenristekdikti akan Memadatkan Materi Kuliah

Jumlah SKS yang ada saat ini dinilai menghambat kreativitas mahasiswa.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Gita Amanda
Mahasiswa kuliah/Ilustrasi
Foto: Dewi Mardiani/Republika
Mahasiswa kuliah/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Riset, Teknologi daan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) memastikan pemangkasan Satuan Kredit Semester (SKS) untuk program sarjana dan diploma bukan sekadar hanya mempersingkat waktu kuliah. Namun, pemangkasan SKS akan difokuskan pada pemadatan konten atau materi ajar setiap mata kuliah.

Sekretaris Jenderal Kemenristekdikti Prof Ainun Naim mengumpamakan, di Australia total SKS untuk program sarjana hanya sekitar 70 SKS. Namun konten dari 70 SKS itu, hampir sama dengan konten program sarjana yang jumlah SKSnya yang mencapai 144 SKS.

“Satu semester ambil empat mata kuliah, tidak bisa tidur. Tapi kita satu semester ambil tujuh mata kuliah bisa main-main. Atau delapan mata kuliah bisa jalan-jalan,” kata Ainun kepada Republika.co.id, Sabtu (8/12).

Ainun menyebut, hingga kini rencana pemangkasan SKS masih dikaji oleh tim Kemenristekdikti. Sehingga dia belum bisa menargetkan kapan kebijakan ini diterapkan untuk program sarjana dan diploma perguruan tinggi di Indonesia.

“Kami juga belum menentukan apakah MKDU (mata kuliah dasar umum) atau mata kuliah inti atau lainnya yang akan dipangkas,” jelas dia.

Sebelumnya, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) mewacanakan untuk memangkas jumlah Satuan Kredit Semester (SKS) pada jenjang sarjana (S1) dan diploma. Namun berapa jumlah SKS yang akan dipangkas masih dikaji oleh pihak Kemenristekdikti.

Menristekdikti Mohammad Nasir mengatakan, saat ini bobot SKS untuk S1 mencapai 144 SKS dan diploma mencapai 120 SKS. Jumlah SKS tersebut dinilai terlalu berat, menghambat kreativitas mahasiswa, dan juga membebani pembiayaan.

"Saya kira untuk S1 jadi maksimal 120 SKS, dan D3 90 SKS itu sudah cukup," kata Nasir.

Selain mahasiswa, kata Nasir, bobot SKS tersebut juga dinilai membebani dosen. Karena dengan jumlah SKS tersebut, dosen terlalu sibuk mengajar di kelas dan lupa melakukan penelitian.

"Kalau SKSnya terlalu banyak, mahasiswa dan dosen tidak bisa mengeluarkan kemampuannya dengan baik dan dosen tidak bisa melakukan penelitian untuk meningkatkan kualitas mengajar," ucap Nasir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement