Jumat 23 Nov 2018 01:17 WIB

Peneliti LIPI Terangkan Bahaya Dampak Mikroplastik

Pada Senin, bangkai paus sperma ditemukan terdampar di dekat Taman Nasional Wakatobi.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani
Peneliti mengumpulkan data dari bangkai paus yang terdampar di pantai di peraian Taman Nasional Wakatobi di Sultra. Paus sperma ditemukan terdampar pada Ahad (18/11).
Foto: AKKP via AP
Peneliti mengumpulkan data dari bangkai paus yang terdampar di pantai di peraian Taman Nasional Wakatobi di Sultra. Paus sperma ditemukan terdampar pada Ahad (18/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti mikroplastik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Muhammad Reza Cordova mengingatkan, masyarakat tak membuang sampah ke laut. Sebab dampaknya bisa kembali pada manusia itu sendiri. Khususnya sampah berupa mikroplastik dengan ukuran amat kecil.

Reza menyebut ada dua sumber mikroplastik yang berukuran kurang dari lima milimeter. Pertama, memang sudah kecil ukurannya saat berada di laut. Kedua, ukuran sampah plastiknya menyusut di laut karena pengaruh cuaca dan arus. Untuk tahap awal, dampak mikroplastik merusak pencernaan biota laut.

"Dampak luasnya ganggu saluran pencernaan biota yang kecil, jadi media penempelan polutan lain seperti logam berat, bakteri berbahaya. Ketika dimakan biota kecil seperti ikan, plastik walau lembek pas masuk organ tubuh pasti ganggu," katanya pada Republika, Kamis (22/11).

Bahkan, kerusakan pencernaan bisa berdampak lebih parah lagi tergantung seberapa banyak sampah dan jenis sampahnya. "Ada kemungkinan saluran cerna robek, luka. Polutan lain mudah masuk ke tubuh. Bakteri patogen dampak lebih parah," tambahnya.

Pada tahap selanjutnya, dampak mikroplastik menyentuh manusia itu sendiri. Yaitu saat ikan yang memakan mikroplastik dikonsumsi manusia. "Dampak ke manusia pas makan ikan. Semua yang dibuang manusia ke alam kemungkinan ke laut nanti bisa berakhir di perut binatang atau di meja makan karena kita makan. Kayak karma saja. Jangan sampai kita makan plastik," tuturnya.

Pada Senin (19/11), bangkai paus sperma ditemukan terdampar di dekat Taman Nasional Wakatobi di Sulawesi Tenggara. Dari dalam perutnya ditemukan banyak sampah plastik, termasuk cangkir dan sandal jepit.

Ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pegiat lingkungan karena terjadi di Indonesia, salah satu negara yang polusi plastik terburuk di dunia. Petugas dari Taman Nasional Wakatobi menemukan bangkai paus sepanjang 9,5 meter tersebut setelah menerima laporan dari seorang pegiat bahwa para penduduk desa menemukan paus sperma yang sudah mulai membusuk tersebut.

Menurut Kepala Taman Nasional Wakatobi, Heri Santoso, tim dari Taman Nasional bersama WWF, dan tim dosen Akademi Komunikasi Kelautan dan Perikanan (AKKP) Wakatobi, datang ke lokasi penemuan bangkai paus sepanjang 9,5 meter dan lebar 4,37 meter itu. Mereka kemudian menemukan adanya sampah plastik seberat 5,9 kilogram di dalam perut paus tersebut, yang ketika dirinci berisi gelas plastik seberat 750 gram (115 buah), plastik 140 gram (19 buah), botol plastik seberat 150 gram (4 buah), kantong plastik seberat 260 gram (25 buah).

Selain itu juga ada sampah kayu seberat 740 gram (6 potong), sandal jepit dua buah dengan berat 270 gram), karung nilon seberat 200 gram (1 potong), dan tali rafia seberat 3,2 kilogram (lebih dari 1.000 potong). "Meski kami belum berhasil menentukan sebab kematian paus tersebut, namun apa yang kami lihat di dalam perutnya sangat menyedihkan." kata Dwi Suprapti, koordinator konservasi hewan laut di WWF Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement