Senin 12 Nov 2018 20:34 WIB

Soal Politik Genderuwo, TKN: Yang tidak Boleh Sebar Hoaks

Politikus PDIP menilai kata-kata itu tidak masalah disampaikan.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Bayu Hermawan
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Ahmad Basarah.
Foto: MPR
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Ahmad Basarah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Maruf Amin, Ahmad Basarah menegaskan pernyataan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 01, Jokowi-Maruf Amin soal politisi sontoloyo, genderuwo hingga istilah 'buta tuli' merupakan fakta. Istilah itu digunakan sebagai kampanye negatif untuk kubu lawan, dan itu dibolehkan oleh undang undang (UU).

"Pak Jokowi dan Kiai Maruf hanya mengkonseptualisasikan apa yang terjadi di realitas politik bangsa saat ini. Jadi yang disampaikan soal politisi sontoloyo, politisi genderuwo dan politisi yang 'buta tuli' itu fakta dan itu dibolehkan sebagai alat kampanye negatif untuk lawan politik," kata Basarah, Senin (12/11).

Sebaliknya, kata dia, yang tidak dibolehkan undang undang adalah menggunakan kampanye hitam. Menyebarkan informasi tanpa data yang jelas, hoax atau kebohongan dan fitnah serta menyebar ketakutan di masyarakat, itulah yang dilarang undang undang.

Basarah menegaskankampanye negatif ini, pernyataan Jokowi baik soal politisi sontoloyo atau politisi genderuwo, harus dilihat dari dua sisi. Pertama Jokowi sebagai seorang presiden, ia bertanggungjawab menjalankan iklim politik yang kondusif. Menghindari pihak yang dengan sengaja mengganggu kondusifitas tersebut, dengan menyebarkan hoaks, adu domba dan ketakutan.

Kedua sebagai capres Jokowi juga boleh menyampaikan fakta bahwa ada politisi sontoloyo dan genderuwo seperti ini. Sebagai kampanye negatif, agar masyarakat tahu politisi ini menggunakan cara fitnah dan kampanye hitam yang dilarang oleh undang undang.

"Sehingga wajar kata tersebut dikeluarkan sebagai bentuk realitas politisi yang ada saat ini," ujar Basarah.

Ia menjelaskan kata politisi sontoloyo itu politisi yang tidak konsisten, antara perkataan dan perbuatan. Menghalalkan segala cara dalam berpolitik, menyebarkan hoax, termasuk mengadu domba dan menggunakan unsur kebencian SARA untuk meraih suara.

Baca juga: Soal Politik Genderuwo, TKN: Jokowi Ajak Rakyat untuk Berani

Sedangkan politisi genderuwo itu kan makhluk yang suka menakut nakuti. Sedangkan politisi genderuwo itu politisi yang dengan pernyataan pernyataannya menakutu rakyat. Indonesia akan bubar, negara ini akan bangkrut dikuasai asing. "Itu adalah kata kata untuk menakut nakuti rakyat. Dan tidak berdasarkan fakta," jelasnya.

Hal yang sama disampaikan cawapres Kiai Maruf dengan kata \'bisu tuli\' kepada pihak yang enggan mengakui keberhasilan pemerintah. Menurut Basarah, pernyataan Kiai Maruf itu fakta, ada pihak yang sengaja menutup mata dan menutup kuping atas keberhasilan pemerintah saat ini. Sehingga pemerintah selalu salah, dicari kesalahan dan kejelekannya.

Menurut Basarah, mereka inilah yang dikonseptualisasikan Jokowi dan Kiai Maruf sebagai politisi sontoloyo, genderuwo hingga buta dan tuli. "Kata-kata tersebut boleh digunakan sebagai negatif campaign, sebagai fakta yang diaampaikan atas kelemahan calon lain," ujar Wakil Sekjen PDIP ini.

Yang tidak boleh, lanjut dia, adalah black campaign. Menyampaikan informasi bohong, hoax, fitnah tanpa data hingga mengadu domba menggunakan unsur SARA. Cara black campaign itu, ia menegaskan, jelas dilarang dalam aturan pemilu di Indonesia. Negatif campaign dan black campaign itulah menurut dia, yang membedakan perkataan Jokowi-Maruf dengan calon lainnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement