REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum bisa melakukan tindak lanjut atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan Oesman Sapta Odang (OSO) soal syarat calon anggota DPD. KPU akan berkomunikasi dengan MA dan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait hal itu.
Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, mengatakan ada perbedaan substansi antara putusan MA dan putusan MK. Putusan MK pada intinya melarang pengurus parpol menjadi calon anggota DPD. Sementara itu, dalam putusannya, MA mengabulkan permohonan uji materi tentang syarat pencalonan anggota DPD yang tertuang pada PKPU Nomor 26 Tahun 2018.
Dalam PKPU itu diatur tentang larangan bagi pengurus parpol menjadi calon anggota DPD. "KPU harus mematuhi hukum. Namun, karena ada dua subtansi yang berbeda dari dua lembaga peradilan itu, maka KPU akan berkomunikasi dengan keduanya. Sebab kan ada dua produk hukum," jelas Wahyu kepada wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (30/10).
Komunikasi yang dilakukan, kata dia, bisa dilakukan melalui surat atau datang langsung ke MK dan MA. Menurut pandangan KPU, masing-masing putusan harus ditanyakan secara rinci kepada lembaga yang mengeluarkan putusan.
"Sebaiknya KPU bertanya kepada lembaga yang mengeluarkan, KPU harus menuruti yang mana ?" ungkapnya.
Pihaknya memahami jika putusan MA harus segera dieksekusi demi kepastian hukum. Namun, KPU juga berhati-hati. Hingga Selasa (30/10) hari ini, KPU belum menerima salinan putusan MA.
"Kalau kami bertanya (kepada MA dan MK), itu bukan berarti KPU tidak patuh hukum. Justru kami Berhati-hati dalam mematuhi hukum, dengan bertanya," paparnya.
Dihubungi secara terpisah, Selasa siang, Juru Bicara MA, Suhadi, mengatakan uji materi PKPU Nomor 26 itu diputuskan pekan lalu. Namun, MA belum bisa menyampaikan secara konkret dasar dari putusan itu.
"Sudah diputuskan dikabulkan pada Kamis (25/10) lalu. Untuk alasan hukumnya nanti akan disampaikan secara lengkap oleh Direktur Perkara MA," ujar Suhadi.
Sebelumnya, pada Juli lalu, MK telah memutuskan mengabulkan permohonan uji materi atas pasal 128 huruf I UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Menurut MK, pasal 182 huruf I tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan inkonstitusional. Pasal itu menyebutkan bahwa calon anggota DPD tidak boleh memiliki 'pekerjaan lain'.
Adapun pekerjaan lain yang dimaksud yakni tidak melakukan praktik sebagai akuntan publik, advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah dan/atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara, serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang atau hak sebagai anggota DPD.
Hakim MK, I Gde Dewa Palguna, dalam pertimbangan putusannya menyebutkan bahwa frasa 'pekerjaan lain' harus mencakup makna pengurus parpol. "Maka, Mahkamah penting untuk menegaskan bahwa pengurus adalah mulai dari pusat sampai paling rendah sesuai struktur organisasi parpol," tegasnya.