REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng, Jombang, Salahuddin Wahid mengungkapkan, sejumlah ulama dan dzuriyyah muassis (anak cucu pendiri) Nadhalatul Ulama (NU) telah melakukan pertemuan di tempatnya, Rabu (24/10). Di pertemuan tertutup tersebut, 40-an warga NU dari berbagai daerah ini telah menghasilkan tiga keputusan yang diharapkan dapat terealisasikan baik.
"Jadi pertemuan yang kira-kira dihadiri 40-an dari berbagai daerah ini bertujuan untuk menyampaikan pendapatnya tentang masalah khittah NU," kata pria yang biasa disapa Gus Solah ini saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (25/10).
Menurut Gus Solah, hampir semua berpendapat saat ini NU sudah memasuki ranah politik praktis. Padahal, ia menegaskan, konsep demikian jelas bukan bagian dari khittah NU 1926. Bahkan, dapat disimpulkan NU di berbagai daerah telah dikendalikan oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Adapun ketiga poin yang ingin disampaikan NU dalam pertemuan tersebut, yakni dzuriyyah muassis (anak cucu pendiri) Nadhalatul Ulama menegaskan dan mengingatkan kembali bahwa NU harus berdiri tegak di atas khittah 1926. Kedua, NU tidak ada urusan dengan partai politik manapun, dan tidak berpihak kepada siapa pun, termasuk dalam pilpres 2019.
Ketiga, NU memberikan kebebasan kepada warganya untuk menyalurkan aspirasi politiknya sesuai dengam sembilan butir pedoman berpolitik warga NU. "Di sini kita menegaskan NU bukan bagian politik praktis, tapi politik kebangsaan," tegas dia.
Saat ditanyai langkah selanjutnya apabila tak terealisasi, Gus Solah mengaku tidak tahu apa yang akan dilakukan nanti. Sebab, ia melanjutkan, segala yang disampaikan dalam pertemuan tersebut sifatnya hanya imbauan. Meski demikian, pihaknya akan terus melakukan pertemuan untuk mencari arah yang tepat bagi warga NU ke depannya.
"Nanti akan bertemu tiga minggu lagi dan terus melakukan pertemuan untuk cari arah tepat, sehingga dapat menyampaikan pesan itu ke warga NU sehingga bisa paham," tambah dia.