REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Milenial dan pemilih pemula menjadi salah satu ceruk suara strategis di Pemilu 2019 mendatang. CEO Alvara Research Center Hasanuddin Ali mengatakan demokrasi Indonesia di masa depan akan ditentukan oleh generasi milenial. Kendati menjadi penentu, namun kelompok milenial cenderung cuek terhadap politik.
"Dalam konteks politik, generasi ini rada cuek dengan politik," kata Hasanuddin di Cikini, Jakarta, Sabtu (20/10).
Hasanuddin mengatakan berdasarkan survei terbaru, diketahui hanya 22 persen anak milenial yang mengikuti pemberitaan politik. Sisanya lebih banyak mengikuti berita seputar olahraga, musik, film, gaya hidup, sosmed, dan IT. Sementara 70 persen milenial lainnya cenderung apatis terhadap politik.
"Ketika kita tanya pada responden kita, politik itu urusan orang tua. Jadi ini murni urusan pengetahuan, urusan anak milenial adalah lebih pada kehidupan sehari-hari mereka," ujarnya.
Sementara itu Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menilai perhatian partai politik dalam memberikan pendidikan bagi kelompok pemilih pemula dan milenial dinilai masih terbatas. Menurutnya perlu ada akses kepada kelompok milenial untuk mengetahui proses pemilu, yaitu dengan mengadakan sosialisasi pemilu.
"Perlu dibedakan antara kampanye dengan sosialisasi pemilu," kata dia.
Menurutnya sosialisasi pemilu bagi pemilih pemula memang perlu dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Sedangkan Deputi Bidang Pengembangan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Asrorun Ni'am Sholeh menganggap penting memposisikan pemuda sebagai subjek.
"Selama ini cenderung kita berbincang soal parisipasi kaum muda di dalam politik khususnya di pemilu, mendudukan pemuda itu sebagai objek yang menjadi ceruk suara semata," ujarnya.
Menurutnya penting untuk membangun pola pikir bahwa pemuda tidak hanya dijadikan sebagai objek, melainkan menggeser dari objek ke subjek pada aspek kontribusinya. Sehingga pendekatan yang dilakukan tidak lagi reaktif melainkan partisipatif.
Ia mencontohkan bagaimana regulasi adanya keterwakilan perempuan 30 persen di parlemen mampu mendorong perempuan di dalam partisipasi politik. Menurutnya
perlu ada regulasi serupa untuk meningkatkan partisipasi pemuda di ruang-ruang publik, termasuk di birokrasi, jabatan politik, dan di sektor-sektor strategis lainnya.