Kamis 18 Oct 2018 08:03 WIB

'Urusan Pembayaran Utang RS Sampai ke Presiden, Kebangetan'

Jokowi menegur keras Dirut BPJS Kesehatan soal tunggakan pembayaran klaim RS.

Rep: Dessy Suciati Saputri, Antara, Inas Widyanuratikah, Rizky Jaramaya/ Red: Andri Saubani
Presiden Joko Widodo menyampaikan paparan pendahuluan ketika memimpin sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Selasa (16/10/2018).
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Presiden Joko Widodo menyampaikan paparan pendahuluan ketika memimpin sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Selasa (16/10/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak menutupi kekesalannya terhadap manajemen Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kala membuka kongres Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) di JCC, Jakarta, Rabu (17/10). Menurut dia, masalah keuangan BPJS ini seharusnya dapat diselesaikan baik oleh BPJS Kesehatan dan juga di tingkat Kementerian Kesehatan.

"Urusan pembayaran utang RS sampai Presiden. Ini kebangetan sebetulnya," tegas Jokowi.

Baca juga

Adalah masalah defisit keuangan BPJS Kesehatan yang disorot Jokowi. Jokowi pun mengingatkan Dirut BPJS Kesehatan dan Menteri Kesehatan tak lagi mengulangi kesalahan, yakni menumpuknya tagihan pembayaran klaim kepada RS.

Jokowi mengatakan, pemerintah telah membantu menyelesaikan masalah defisit keuangan BPJS. Untuk tahun ini, pemerintah memutuskan akan memberikan suntikan dana sebesar Rp 4.9 triliun untuk menambal defisit BPJS Kesehatan.

"Tapi ini sebetulnya urusan Dirut BPJS, nggak sampai Presiden kayak gini-gini. Harus kita putus tambah Rp 4,9 T. Ini masih kurang lagi. Pak masih kurang. Kebutuhan bukan Rp 4,9 T. Lha kok enak banget ini, kalau kurang minta, kalau kurang minta," ucapnya.

Jokowi pun mengkritik sistem manajemen anggaran lembaga yang dipimpin Fachmi Idris. Presiden meyakini, dengan sistem manajemen yang baik, maka tak akan menimbulkan permasalahan anggaran seperti saat ini.

"Mestinya ada manajemen sistem yang jelas sehingga RS kepastian pembayaran ini jelas," tambah Jokowi.

Pemerintah, kata Jokowi, terus mempromosikan gaya hidup sehat kepada masyarakat. Sebab, tak sedikit biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk memberikan layanan kesehatan yang baik kepada masyarakat hingga BPJS Kesehatan mengalami defisit keuangan.

Berdasarkan data yang diterimanya, BPJS Kesehatan menerima tagihan untuk pembiayaan pengobatan penyakit jantung hingga Rp 9,25 triliun. Angka inipun dinilainya sangat besar.

"Ini belanja BPJS kesehatan. Bill BPJS kesejatan tahun 2017 klaim kasus penyakit jantung itu Rp 9,25 triliun rupiah. Gede banget tuh Rp 9,25 triliun itu duit gede banget untuk penyakit jantung," kata dia.

Sementara, klaim BPJS Kesehatan untuk pengobatan penyakit kanker mencapai Rp 3 triliun dan klaim penyakit gagal ginjal serta stroke masing-masing sebesar Rp 2,25 triliun. Tak hanya itu, Presiden juga menyebut klaim BPJS Kesehatan untuk penyakit non-katastropik terhitung tinggi. Di antaranya untuk operasi katarak sebesar Rp 2,26 triliun.

Begitu juga dengan tagihan untuk layanan fisioterapi yang juga hampir mencapai Rp 1 triliun. Jokowi pun menilai perlu dilakukan kajian lebih lanjut terkait pemanfaatan BPJS Kesehatan ini.

"Ini mestinya jadi kajian. Fisioterapi juga ternyata gede banget. Nggak ngerti kok ini masuk ke BPJS. Rp 965 miliar, Rp 1 triliun," ujarnya.

Defisit BPJS Kesehatan

Besaran defisit BPJS Kesehatan sebelumnya terungkap dalam rapat gabungan di Komisi IX DPR pada Senin (17/9). Terungkap dalam rapat itu, perkiraan defisit BPJS Kesehatan pada 2018 mencapai Rp 10,98 triliun.

Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo menerangkan, angka itu merupakan koreksi setelah audit oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sebelumnya, defisit disebut mencapai angka Rp 16,58 triliun.

"Setelah BPKP melakukan review itu ada koreksi, koreksinya sebesar Rp 5,6 triliun. Sehingga hasil review BPKP defisit BPJS sebesar sekutar 10,98 triliun," kata Mardiasmo, dalam rapat.

Soal besarnya angka defisit yang disebut di atas, Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris yang hadir dalam rapat, mengungkapkan alasan sulitnya mengatasi defisit tersebut. Alasan utama adalah besaran iuran peserta yang dinilai kurang tinggi.

"Ada posisi bahwa iuran itu underprice (terlalu rendah), kalau kita bicara dalam konteks jangka panjang," kata Fachmi.

Ia memberikan data premi yang minus pada masyarakat pengguna BPJS Kesehatan setiap bulannya. Bahkan, jumlah minus tersebut mengalami penambahan dari 2016 sampai 2017.

Pada 2016, biaya per orang setiap bulannya mencapai Rp 35.802, padahal premi per orangnya hanya Rp 33.776. Sementara itu, pada 2017, per orang biayanya mencapai Rp 39.744, tetapi premi per orang sebesar Rp 34.119. Artinya, pada 2016 ada selisih Rp 2.026 dan pada 2017 Rp 5.625.

"Semakin bertambah peserta, namun iurannya jaraknya tidak teratasi, maka biaya akan meningkat. Jadi, ada masalah yang lebih serius ke depan dengan iuran ini, defisit akan semakin hebat," ujar Fachmi menegaskan.

Pada Kamis (11/10), Fachmi pun menghadap ke Istana. Ditemui di kantor Wakil Presiden, ia berharap ada suntikan dana tambahan yang diupayakan dari sumber-sumber di APBN, untuk mengatasi defisit.

"Uang yang disuntikkan pertama ini kurang, nanti tentu akan diupayakan sumber-sumber di APBN yang masih memungkinkan," ujar Fachmi.

Dana yang diberikan oleh Kementerian Keuangan, sebesar Rp 4,9 triliun pada September lalu, kata Fachmi, sudah habis untuk membayar tunggakan rumah sakit hingga Juli 2018. Pembayaran ke rumah sakit dilakukan pada 25-30 September 2018.

Fachmi menjelaskan, BPJS Kesehatan berupaya untuk menjaga anggaran yang berimbang hingga akhir tahun. Salah satu caranya yakni dengan menjaga kualitas pengeluaran.

"Kita menjaga kualitas pengeluaran, jangan sampai pengeluaran ini bukan yang berkualitas," kata Fachmi.

[video] Kenapa BPJS Tidak Syariah? Ini Penjelasan MUI

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement