REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hoaks terkait politik khususnya Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 masih marak. Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat selama September 2018 ada 86 topik hoaks, yang 59 yang di antaranya adalah hoaks terkait politik.
"Dari 59 hoaks politik itu, ada 52 terkait Pilpres 2019," kata Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho di Jakarta, Senin (8/10).
Mafindo mencatat sepanjang September 2018, kubu pasangan calon Joko Widodo-Ma'ruf Amin paling banyak diserang hoaks yang beredar di media sosial. Mafindo menilai kedua kubu pendukung saling melemparkan tuduhan dan hoaks, tetapi kubu Jokowi-Ma'ruf paling banyak mendapatkan serangan hoaks.
Ia menerangkan kesimpulan tersebut berdasarkan catatan hoaks politik yang masuk dalam database Mafindo. Database Mafindo itu diolah dari group Forum Anti-Fitnah Hasut dan Hoaks pada September 2018.
“Hoaks yang menyerang Jokowi sebanyak 36 jenis dan Prabowo 16 jenis,” kata dia.
Ia menambahkan hoaks terdahsyat dilakukan Ratna Sarumpaet, seorang aktiviis yang sempat menjadi juru kampanye salah satu pasangan calon presiden-wakil presiden. Hoaks terdahsyat itu terkait kebohongan penganiayaan terhadap Ratna.
Ironisnya, ia menambahkan, hoaks itu terjadi saat bangsa Indonesia berduka akibat gempa bumi dan tsunami di Palu dan Donggala,Sulawesi Tengah. Bahkan, hoaks itu sempat merebut panggung opini publik yang sebelumnya fokus pada bencana alam tersebut.
Infografis Hoaks Terbaik.
"Fakta yang ada jauh lebih memprihatinkan, media sosial masih digunakan untuk menyebarkan politik kebencian yang dikhawatirkan bisa mengoyak persaudaraan bahkan menjurus ke arah konflik sosial di tengah minimnya tingkat literasi masyarakat," Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho.
Septiaji menyampaikan lima hoaks yang paling populer pada September. Pertama, warga asal China ditangkap TNI AD karena membuat KTP palsu dengan 92.204 sebaran.
Kedua, pekerja LRT ditangkap di Karawang disangka Tentara Merah PKC dengan 63 ribu sebaran. Ketiga, yakni pendidikan agama akan dihapus dengan jumlah sebaran 37.085.
Hoaks keempat, yakni rezim kodok ini benar-benar anti-Islam dengan jumlah sebaran 32.034. Terakhir, yaitu demi jalan tol masjid dan tempat ibadah kita pun mereka robohkan dengan jumlah sebaran 16.280.
Sejak masa kampanye dimulai pada 23 September lalu, Republika juga mencatat sejumlah hoaks yang menyedot perhatian pengguna media sosial. Misalnya, hoaks situs Skandal Sandiaga pada hari kedua masa kampanye.
Baca Juga: Kasus Ratna, Hasto: Belajarlah dari Atlet Asian Para Games
Ada juga hoaks terkait teriakan kalimat tauhid pada pengeroyona suporter Persija Haringga Srilla. Kepolisian meyatakan teriakan tersebut merupakan hasil editan.
Kasus-kasus ini membuka mata bahwa media sosial masih sering digunakan untuk menyebarkan hoaks, khususnya di tahun politik ini. “Fakta yang ada jauh lebih memprihatinkan, media sosial masih digunakan untuk menyebarkan politik kebencian yang dikhawatirkan bisa mengoyak persaudaraan bahkan menjurus ke arah konflik sosial di tengah minimnya tingkat literasi masyarakat,” ujar Septiaji.
Ia menyebutkan selama September saluran paling banyak digunakan menyebar hoaks adalah Facebook sebesar 49,88 persen, Youtube 16,24 persen, dan Twitter 15,08 persen. “Ini mengkhawatirkan, karena rentan memicu pertengkaran bahkan konflik sosial di masyarakat," kata dia.
[Ilustrasi] Sejumlah polisi wanita (polwan) membawa poster antihoaks. (Antara)
Septiaji menjelaskan konsep hoaks yang dipakai adalah rangkaian informasi yang sengaja disesatkan tetapi dijual sebagai kebenaran. Kemudian, ‘berita’ palsu yang mengandung informasi yang disengajai untuk menyesatkan publik dan memiliki agenda politik tertentu.
Ia berpesan masyarakat harus cerdas memilah informasi yang didapatkan melalui media sosial. Sebab pada tahun politik ini, upaya untuk memperkeruh pandangan publik paling mudah dilakukan dengan menebar disinformasi melalui media sosial atau messaging.
"Jangan sampai terperdaya oleh informasi sesat yang tidak jelas sumbernya," ujarnya mengingatkan.
Baca Juga: Sandiaga tak akan Jenguk Ratna Sarumpaet
Karena itu, kata dia, literasi bermedia sosial dan grup percakapan harus terus dilakukan. Masyarakat juga diharapkan tidak gampang menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya.
Masyarakat harus bisa berperan aktif membersihkan konten negatif di media sosial dengan bersama-sama melakukan siskamling digital, melaporkan jika ada konten bermasalah ke Kementerian Kominfo melalui aduankonten.id, ke Bawaslu untuk konten terkait pemilu, dan Polri untuk konten pelanggaran hukum.
"Masyarakat juga wajib menggalakkan kegiatan bersama satu hari tanpa hoaks," kata Septiaji.
Di sisi lain, dia menambahkan, perlawanan terhadap hoaks membutuhkan dukungan politisi. Selama elite politik, belum ada komitmen kuat untuk bersama melawan penyebaran hoaks, maka hal itu masih akan banyak beredar di tahun politik ini.