REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPP PKB Lukman Edy meminta agar Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno untuk tidak membuat hoaks baru di sektor ekonomi. Lukman menilai, kubu Prabowo-Sandi sedang membangun narasi agar seluruh elemen masyarakat membantah data ekonomi nasional saat ini.
Baca Juga:
“Ada pernyataan bahwa emak-emak sedang sulit, misalnya, lalu dicari orang-orang untuk memberi pengakuan bahwa hidup saat ini susah. Akan tetapi, narasi itu ternyata gagal,” kata Lukman di Posko Cemara 19, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (8/10).
Lukman menilai, kampanye mengkritisi kondisi ekonomi tanpa data yang jelas hanya akan membuat hoaks baru di sektor ekonomi. Pemerintah telah menugaskan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk merilis data-data ekonomi secara independen.
Karena itu, ia mengatakan, pemerintah tidak asal bicara dalam menyosialisasikan realisasi kinerja. Lukman pun menyayangkan sikap pasangan calon Prabowo-Sandi yang menilai data BPS patut diragukan.
Menurut Lukman, sikap semacam itu bisa disebut sebagai upaya pembodohan masyarakat. Sebab, sikap tersebut sekadar menyebarkan pesimisme terhadap bangsa dan negara.
Seyogianya, lanjut Lukman, BPN Prabowo-Sandi mengedepankan perdebatan tentang cara agar Indonesia ke depan dapat lebih baik. “Pendekatan apa yang lebih baik dan cerdas daripada ide yang dituangkan pemerintahan sekarang,” kata Lukman.
Ia mengakui, target pertumbuhan ekonomi nasional tidak tercapai pada tahun keempat pemerintahan Jokowi-JK. Namun, hal tersebut lebih disebabkan oleh target yang amat tinggi.
Empat tahun lalu, Lukman mengatakan, pemerintah terlalu optimistis dalam menetapkan target. Namun, tahun demi tahun keberjalanan pemerintahan target-target ekonomi lebih moderat.
“Narasi yang mereka (Prabowo-Sandi) bangun itu kan narasi waktu 2014. Sekarang kan kondisinya sudah berbeda,” katanya.
Koalisi Indonesia Adil Makmur fokus mengusung isu pembangunan di sektor ekonomi. Tim Prabowo-Sandi dalam setiap kesempatan juga kerap mengkritik kinerja tim ekonomi di pemerintahanan.
Dua isu yang terus digaungkan, yakni soal stabilitas harga bahan pokok serta ketersediaan lapangan pekerjaan. Selain itu, pelemahan nilai tukar rupiah yang tembus Rp 15 ribu per dolar AS menjadi salah satu bahan kritik terhadap pemerintah.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) per 1 Oktober 2018, sepanjang September 2018 Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,18 persen. Secara tahunan (September 2017-September 2018), laju inflasi Indonesia sebesar 2,88 persen atau di bawah batas pemerintah sebesar 3,5 plus-minus satu persen. Tingkat inflasi umum sebesar 1,94 persen serta laju inflasi inti sebesar 2,38 persen.
Sementara itu, untuk tingkat pengangguran terbuka (TPT), BPS mencatat pada kurun Februari 2017-Februari 2018 jumlah pengangguran di Indonesia berkurang 140 ribu orang. Hal itu sejalan dengan tingkat pengangguran terbuka yang turun menjadi 5,13 persen dari sebelumnya sebesar 5,77 persen pada Februari 2017.
Namun, BPS mencatat jumlah pengangguran di kota lebih tinggi ketimbang pengangguran di desa. Pada Februari 2018, pengangguran di kota sebesar 6,34 persen, sementara di desa sebesar 3,72 persen. Adapun jumlah angkatan kerja pada Februari 2018 mencapai 133,94 juta orang atau naik 2,39 juta orang dibanding periode sama tahun 2017.