REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat sepanjang September 2018, kubu pasangan calon Joko Widodo-Ma'ruf Amin paling banyak diserang hoaks yang beredar di media sosial. Mafindo menilai kedua kubu pendukung saling melemparkan tuduhan dan hoaks, tetapi kubu Jokowi-Ma'ruf paling banyak mendapatkan serangan hoaks.
Ketua Mafindo Septiaji Eko Nugroho menerangkan kesimpulan tersebut berdasarkan catatan hoaks politik yang masuk dalam database Mafindo. Database Mafindo itu diolah dari group Forum Anti-Fitnah Hasut dan Hoaks pada September 2018.
“Hoaks yang menyerang Jokowi sebanyak 36 jenis dan Prabowo 16 jenis,” kata dia dihubungi dari Padang, Senin (8/10).
Ia merincikan pada September 2018, ada 86 topik hoaks yang mengemuka, dan 59 di antaranya terkait politik serta 52 lainnya terkait Pilpres 2019. Artinya, ia mengatakan, hoaks pilpres masih mendominasi media sosial, dan aplikasi percakapan seperti whatsapp.
“Ini mengkhawatirkan, karena rentan memicu pertengkaran bahkan konflik sosial di masyarakat," kata dia.
Dia menyampaikan lima hoaks yang paling populer pada September, yaitu warga asal China ditangkap TNI AD karena membuat KTP palsu. Kabar yang masuk kategori disinformasi ini memiliki jumlah sebaran mencapai 92.204.
Kemudian, pekerja LRT ditangkap di Karawang disangka Tentara Merah PKC dengan jumlah sebaran 63.000. Disinformasi ketiga, yakni pendidikan agama akan dihapus dengan jumlah sebaran 37.085.
Disinformasi atau hoaks keempat, yakni rezim kodok ini benar-benar anti-Islam dengan jumlah sebaran 32.034. Disinformasi terakhir, yaitu demi jalan tol masjid dan tempat ibadah kita pun mereka robohkan dengan jumlah sebaran 16.280.
Infografis Hoaks Terbaik.
Ia menyebutkan selama September saluran paling banyak digunakan menyebar hoaks adalah Facebook sebesar 49,88 persen, Youtube 16,24 persen, dan Twitter 15,08 persen.
Septiaji menjelaskan konsep hoaks yang dipakai adalah rangkaian informasi yang sengaja disesatkan tetapi dijual sebagai kebenaran. Kemudian, ‘berita’ palsu yang mengandung informasi yang disengajai untuk menyesatkan publik dan memiliki agenda politik tertentu.
Ia berpesan masyarakat harus cerdas memilah informasi yang didapatkan melalui media sosial. Sebab pada tahun politik ini, upaya untuk memperkeruh pandangan publik paling mudah dilakukan dengan menebar disinformasi melalui media sosial atau messaging.
"Jangan sampai terperdaya oleh informasi sesat yang tidak jelas sumbernya," ujarnya mengingatkan.
Dia menambahkan, selama elite politik belum ada komitmen kuat untuk bersama melawan penyebaran hoaks, maka hal itu masih akan banyak beredar di tahun politik ini.