Rabu 26 Sep 2018 18:36 WIB

Menelaah Cara BNPT Tekan Peredaran Paham Radikal di Kampus

Paham radikalisme sudah menjalar ke berbagai lini.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Suhardi Alius
Foto: Republika TV/Fakhtar Khairon
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Suhardi Alius

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), Komjen Pol Suhardi Alius, mengisi kuliah umum di Universitas Gadjah Mada (UGM). Dalam paparannya, ia meminta mahasiswa mengantisipasi penyebaran paham radikal.

Untuk itu, Suhardi mengajak mahasiswa untuk tidak segan-segan melaporkan bila ada kelompok-kelompok yang mengajarkan paham radikal. Baik yang dilakukan sesama mahasiswa maupun dosen-dosen.

"Jika ada yang mengajarkan tidak benar laporkan ke dosen, dekan dan rektor," kata Suhardi di hadapan 3.464 mahasiswa program pascasarjana yang menghadiri Grha Sabha Pramana.

Ia menilai, paham radikalisme sudah menjalar ke berbagai lini, bahkan hingga ke institusi pendidikan yang ada di Indonesia. Mulai pendidikan tinggi sampai pendidikan anak usia dini.

Suhardi menuturkan, sejumlah perilaku menjadi ciri paham radikalisme mulai intoleransi, anti Pancasila dan anti NKRI. Sayangnya, Suhardi turut memasukkan istilah-istilah dalam agama Islam sebagai salah satu ciri radikalisme.

Kafir dan mujahid misalnya. Padahal, satu-satunya agama yang mengenal istilah seperti kafir dan mujahid tidak lain hanya Islam. Menurut Suhardi, orang yang sering mengkafirkan orang lain merupakan bagian dari ciri paham radikalisme. 

Tentu, mengkafirkan orang lain tindakan tercela dan mengartikan mujahid dengan jadi teroris suatu kesalahan besar. Tapi, bila istilah-istilah itu dimasukkan sebagai ciri, tentu ada pretensi yang mengaitkan radikalisme dan Islam.

Apalagi, yang menyebutkan itu merupakan Kepala BNPT yang tentu ucapannya jadi pengertian umum. Padahal, radikalisme merupakan pola pikir dan bisa terjadi kepada siapa saja, tidak tertutup agama apapun.

Pada kesempatan yang sama, Suhadi mengungkapkan hasil pemetaan psikologis dari anak mantan keluarga teroris di Surabaya. Selain anti merah putih dan anti Pancasila, ia menyebut anak itu miliki keinginan kuat menjadi mujahid.

"Ia kangen menonton aksi-aksi kekerasan saat bersama orang tuanya dulu," ujar Suhardi.

Kembali lagi, bahkan sekalipun ini merupakan fakta, tentu bukan tindakan bijak mengungkapkan itu ke publik. Apalagi, Suhardi berbicara di depan generasi muda yang masih belum memiliki kematangan dalam mengolah informasi.

Sekali lagi, mengkafirkan orang lain tentu tindakan tercela, dan mengartikan terorisme sebagai tindakan mujahid merupakan kesalahan besar. Namun, mengaitkan istilah itu dengan radikalisme tentu tidak tepat.

Di luar itu, Suhardi cukup baik mengingatkan kalau paham radikalisme tidak cuma disebar lewat diskusi atau pertemuan. Tapi, sudah melalui website sampai media-media sosial.

"Sekarang, mereka menyebarkan paham radikalisme lewat web dan medsos, sehingga muncul fenomena lone wolf atau aksi tunggal bom bunuh diri, jangan sampai keluarga kita terpapar," kata Suhardi.

Walau pemerintah sudah melakukan deradikalisasi, namun ia berharap semua warga negara meningkatkan rasa kebangsaan. Termasuk, dengan bersama-sama megnawasi seluruh masyarakat yang ditengarai memiliki perilaku berbeda dari sebelumnya.

"Apabila ada teman yang datang dan kemudian tiba-tiba menghilang, segera cari, jangan dibiarkan, apalgi ia buat kelompok yang sifatnya eksklusif, disitulah proses indoktrinasi dimulai," ujar Suhardi.

Imbauan seperti itu tentu sangat baik karena mengena langsung dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Dari sana, diharapkan masyarakat, khususnya mahasiswa, mampu mendeteksi peredaran paham radikalisme di sekitarnya.

Mahasiswa, memang menjadi posisi yang vital mengingat mereka masuk ke dunia baru yang tentu mengenal orang-orang baru. Jadi, penting bagi mereka memiliki proteksi diri terhadap persebaran paham-paham radikalisme.

Apalagi, pelaku penyebaran paham-paham radikalisme tentu mengikuti perubahan zaman, dan memperbarui cara-caranya. Artinya, penting masyarakat untuk pula memahami perubahan-perubahan cara penyebaran paham-paham radikalisme. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement