Rabu 26 Sep 2018 15:38 WIB

Akankah Jokowi Naikkan Iuran Peserta BPJS Kesehatan?

Keuangan BPJS Kesehatan Terus Mengalami Defisit.

Rep: Dessy Suciati Saputri, Inas Widyanuratikah/ Red: Andri Saubani
Presiden Joko Widodo
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Presiden Joko Widodo

REPUBLIKA.CO.ID, Keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terus mengalami defisit. Dalam rapat gabungan di DPR, pada 17 September lalu, terungkap perkiraan defisit BPJS Kesehatan pada 2018 mencapai Rp 10,98 triliun.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun telah menyatakan, tak menutup kemungkinan diambilnya opsi penyesuaian iuran peserta BPJS Kesehatan untuk mengatasi masalah defisit keuangan BPJS. Kendati demikian, menurutnya, saat ini pemerintah masih mengkaji solusi apa yang akan diputuskan nantinya.

"Ya masih dihitung (penyesuaian iuran BPJS Kesehatan). Kalau memungkinkan kenapa tidak. Tapi masih dihitung," kata Jokowi di Balai Kartini, Jakarta, Selasa (25/9).

Opsi menaikkan iuran peserta BPJS Kesehatan itu setelah Jokowi menerima masukan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada Senin (29/9). Presiden pun menyambut baik saran dari IDI.

"Ya semuanya masih dikalkulasi, semuanya. Saran dari IDI baik, tapi apa pun harus dihitung," ucap Jokowi.

Ketua Umum IDI Ilham Oetama Marsis mengakui mengusulkan agar dilakukan penyesuaian iuran para peserta BPJS non-PBI (penerima bantuan iuran). Alasannya, hasil pajak rokok yang dialihkan tetap tak akan mampu menutup kekurangan keuangan BPJS.

"Bagaimana kita menyesuaikan iuran dari JKN, terutama pada yang namanya peserta non-PBI. Kalau istilah saya adalah penyesuaian iuran. Karena kita ketahui, mereka yang non-PBI bukan non-PBPU, itu masyarakat yang cukup kaya dan beruang tapi mereka mendapatkan dengan premi yang sama dengan masyarakat biasa. Ini mengakibatkan missmatch dalam pembayaran," jelas dia.

"Apakah tidak ada dokter yang nakal? Ada. Apakah tidak ada rumah sakit yang nakal? Ada. Tapi dengan keterbukaan, baik BPJS, baik dokter, rumah sakit, itu dengan sangat mudah dilacak. Kalau tertutup, mana ada yang tahu. Yang menjadi korban adalah rumah sakit dan dokter ini," kata Ketua Umum IDI Ilham Oetama Marsis.

IDI juga memperkirakan, defisit keuangan BPJS hingga Desember nanti dapat mencapai Rp 16,5 triliun jika tak dilakukan perbaikan sistem pengelolaan. Sementara, dana talangan pemerintah atau bailout dari pemerintah hanya sebesar Rp 5 triliun.

"Sedangkan bailout pemerintah itu Rp 5 triliun berarti ada kekurangan Rp 11,5 triliun yang tentunya akan berulang kembali defisit anggaran berjalan. Akhirnya mengakibatkan penyelesaian yang bersifat temporer," kata dia.

Ilham khawatir sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) akan mengalami kegagalan jika defisit keuangan BPJS semakin membesar.

"Kalau kita melihat misalnya dengan pola operasional sekarang ini, dengan defisit yang besar, kami mengkhawatirkan Kartu Indonesia Sehat, atau JKN akan mengalami suatu kegagalan," ujar Ilham.

Perbaikan sistem

Selain mengusulkan kenaikan iuran peserta BPJS non-PBI, IDI juga mendorong dilakukannya perbaikan sistem pelayanan kesehatan serta transparansi sistem sehingga tercipta efisiensi. Menurut Ilham, perbaikan sistem pelayanan kesehatan dapat dilakukan melalui sinkronisasi data antara Kementerian Kesehatan, BPJS, dan juga IDI.

Menurut IDI, terjadinya defisit keuangan BPJS Kesehatan, salah satunya diakibatkan masih buruknya transparansi sistem. Oleh karena itu, IDI mendorong adanya perbaikan sistem keterbukaan, sehingga rumah sakit ataupun dokter yang nakal dapat dengan mudah dilacak.

"Apakah tidak ada dokter yang nakal? Ada. Apakah tidak ada rumah sakit yang nakal? Ada. Tapi dengan keterbukaan, baik BPJS, baik dokter, rumah sakit, itu dengan sangat mudah dilacak. Kalau tertutup, mana ada yang tahu. Yang menjadi korban adalah rumah sakit dan dokter ini," jelas Ilham.

Ilham menilai, transparansi sistem ini dapat menyelesaikan masalah yang terjadi di BPJS. Termasuk mendorong efisiensi sehingga mengurangi defisit keuangan BPJS.

"Dengan keterbukaan, semua masalah pasti bisa diselesaikan. Apalagi dengan menggunakan sistem digital, atau bank data. Kita masukkan, break, analisa, formula penyelesaian, dalam sekejap bisa kelihatan," tambahnya.

Baca juga:

Data premi minus BPJS Kesehatan

Soal besarnya angka defisit BPJS Kesehatan, Direktur BPJS Kesehatan Fachmi Idris Fachmi saat rapat dengan Komisi IX DPR mengungkapkan alasan sulitnya mengatasi defisit tersebut. Alasan utama adalah besaran iuran peserta yang dinilai kurang tinggi.

"Ada posisi bahwa iuran itu underprice (terlalu rendah), kalau kita bicara dalam konteks jangka panjang," kata Fachmi.

Ia memberikan data premi yang minus pada masyarakat pengguna BPJS Kesehatan setiap bulannya. Bahkan, jumlah minus tersebut mengalami penambahan dari 2016 sampai 2017.

Pada 2016, biaya per orang setiap bulannya mencapai Rp 35.802, padahal premi per orangnya hanya Rp 33.776. Sementara itu, pada 2017, per orang biayanya mencapai Rp 39.744, tetapi premi per orang sebesar Rp 34.119. Artinya, pada 2016 ada selisih Rp 2.026 dan pada 2017 Rp 5.625.

"Semakin bertambah peserta, namun iurannya jaraknya tidak teratasi, maka biaya akan meningkat. Jadi, ada masalah yang lebih serius ke depan dengan iuran ini, defisit akan semakin hebat," ujar Fachmi menegaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement