REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA 00 Setiap 21 September, tiap tahunnya dunia internasional memperingati Hari Perdamaian Internasional (International Peace Day). Peringatan tersebut sebagai bentuk dedikasi agar selalu menjaga perdamaian dunia dan juga pengingat akan dampak kekerasan dan perang.
Deputi Bidang koordinasi Kebudayaan di teras Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Nyoman Shuida menyatakan Hari Perdamaian Internasional merupakan momentum tepat untuk menjaga budaya damai. Khususnya menjelang masa kampanye pemilihan legislatif dan pemilihan presiden 2019 yang akan mulai berlangsung sejak tanggal 23 September.
“Menjelang tahun politik 2019 ini, saya mengajak kita semua untuk selalu menjaga iklim persatuan sebagai satu bangsa. Kita memiliki keberagaman budaya kepercayaan dan cara pandang, itu semua adalah aset bangsa yang mampu memperkuat kita sebagai bangsa, maka sebuah keharusan bagi siapapun untuk menjadi teladan dalam menyemai nilai-nilai toleransi,” kata Nyoman Shuida di Jakarta, Jumat (21/9).
Ia menceritakan salah satu kegiatan hasil kerjasama Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) dan Paritas Institut dalam membangun budaya toleran lewat lokakarya Penggerak Perdamaian di berbagai daerah di Indonesia. “Banyak pemuda bangsa yang antusias untuk membangun dialog dan memupuk toleransi. Di Purwokerto, para pemuda lintas iman saling berkunjung ke berbagai tempat ibadah dan pesantren dengan misi membangun keharmonisan dan perdamaian antar umat beragama. Semangat mereka perlu ditiru,” kata Nyoman.
Dari cerita singkat tadi, Ia merasa bersyukur bahwa Indonesia terus eksis dalam bentuk negara kesatuan yang membingkai keberagaman. Menurut dia, penting ditekankan, NKRI dan Pancasila itu final untuk bangsa Indonesia.
"Tugas kita semua untuk terus meningkatkan perilaku yang mendukung kehidupan demokrasi Pancasila yang menjadi fokus Gerakan Indonesia Bersatu (GIB),” kata Nyoman.
Ia pun mengingatkan untuk terus merawat bangunan budaya damai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) agar tidak dirusak perlahan-lahan justru oleh bangsanya sendiri dengan praktik-praktik intoleran yang sarat akan kekerasan. Untuk mencegah hal yang tidak diinginkan, Nyoman mengingatkan pentingnya tenggang rasa dan menahan diri untuk tidak berbuat menyakiti orang lain baik dalam bentuk fisik maupun verbal.
“Mengamalkan Pancasila itu dimulai dari hal yang sederhana, yaitu biasakan untuk bantu, senyum dan sapa tanpa memandang perbedaan identitas ataupun pandangan politik,” ucap dia.