Kamis 20 Sep 2018 23:10 WIB

TNGR Kaji Wisata Alternatif di Gunung Rinjani

Kunjungan ke Taman Nasional Gunung Rinjani menurun usai gempa

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Seorang tukang ojek melintas di padang savana jalur pendakian Gunung Rinjani, Sembalun, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, NTB, Jumat (22/9). Rinjani merupakan salah satu potensi wisata yang menjadi sumber pendapatan daerah Lombok Timur.
Foto: ANTARA FOTO/AHMAD SUBAIDI
Seorang tukang ojek melintas di padang savana jalur pendakian Gunung Rinjani, Sembalun, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, NTB, Jumat (22/9). Rinjani merupakan salah satu potensi wisata yang menjadi sumber pendapatan daerah Lombok Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) sedang melakukan kajian untuk memberikan wisata alternatif. Hal ini sebagai solusi dari penutupan jalur pendakian ke puncak akibat gempa.

"Wisata alternatif merupakan jalur-jalur baru yang akan kita kaji untuk memberikan alternatif, yang semula orang berwisata ke Rinjani mendaki ke puncak," ujar Kepala Balai TNGR Sudiyono Hardjo Puspito di sela-sela rapat koordinasi penanganan bencana di Kantor Pemprov NTB, Jalan Pejanggik, Kota Mataram, NTB, Kamis (20/9).

Salah satu kajiannya adalah dengan membuat jalur dengan medium track atau soft track yang akan disandingkan dengan potensi wilayah sekitar yang memiliki daya tarik wisata seperti air terjun Aik Berik.

Sudiyono menjelaskan, wacana ini dilakukan sebagai langkah menghidupkan kembali sektor pariwisata di TNGR yang meredup pascagempa. Dampak penutupan jalur pendakian berimbas pada potensi penerimaan Balai TNGR, para pelaku wisata di sekitar kawasan, hingga masyarakat sekitar.

Ia memperkirakan kehilangan potensi penerimaan yang dialami Balai TNGR cukup besar. Jika pada 2017, Balai TNGR mendapatkan pemasukan sebesar Rp 10 miliar, angka ini menyusut menjadi hanya Rp 4 miliar pada 2018.

"Yang pasti kerugian masyarakat sekitar dari TO (trek organizer) resmi di kami ada 86, baik perorangan maupun perusahan dan ada 1.200 guide nganggur sekarang, mereka penghasilannya berapa per hari bisa dihitung," ucapnya.

Dia menambahkan, kerugian juga menyasar pada sektor lain, seperti industri perhotelan dan homestay di sekitar kawasan yang biasanya ramai pada periode sekarang, dan juga sektor transportasi.

"Hasil-hasil pertanian yang dulu bisa suplai ke hotel juga terdampak. Kalau wisata ini macet, hasil pertanian mau dijual ke mana, yang semula untuk hotel kan pasti tidak laku," kata dia.

Dengan adanya wisata alternatif, Sudiyono berharap roda perekonomian warga bisa kembali bergerak. Selain itu, hal ini juga sebagai langkah antisipasi Balai TNGR untuk menangkal adanya para pendaki ilegal yang nekat mendaki meski sedang ditutup.

"Jadi kita membuat kajian wisata alternatif supaya mereka (warga) lebih fokus dan dan aman. Kalau tidak seperti itu, kita khawatir mereka bikin jalur sendiri-sendiri, ada yang sesat kan nanti tanggungjawab pemerintah juga," ungkapnya. 

Dalam kajian wisata alternatif, Balai TNGR juga akan melibatkan para TO dan porter dengan merumuskan sebuah paket wisata yang menarik serta dengan dilengkapi batasan-batasan dan prosedur yang menyangkut keamanan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement