Selasa 18 Sep 2018 07:17 WIB

Standar Ganda Pengawalan Korupsi

Upaya pencegahan sejak dini tentu akan meminimalisir terjadinya korupsi massal.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil

REPUBLIKA.CO.ID, oleh M Nasir Djamil, anggota Komisi III DPR RI

"Akan ada permainan politik oleh orang-orang kriminal dan permainan kriminal oleh orang-orang politik" Pramoedya Ananta Toer

Petikan ungkapan sastrawan Pramoedya (alm)  di atas tampaknya tepat  untuk menjelaskan potret buram politisi di republik ini. Hampir setiap pekan, masyarakat disuguhi pemberitaan tentang penangkapan pelaku tipikor  oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Terakhir, penahanan 40 dari 45 anggota DPRD Kota Malang menambah daftar panjang praktik rusuah dalam  kekuasaan. Korupsi berjamaah ini tidak hanya menggerus  kredibilitas  lembaga parlemen, melainkan juga bentuk  pengkhianatan aspirasi rakyat.

Apa yang terjadi di Kota  Malang mengingatkan kita dengan kasus yang sama dimana  sebanyak 38 anggota DPRD Sumatera Utara menjadi tersangka kasus suap pengesahan Anggaran Belanja Daerah 2014-2015. Kini kasus serupa juga berpotensi terjadi di Jambi menyusul dugaan korupsi massal yang merupakan pengembangan dari kasus korupsi Gubernur Jambi Zumi Zola.

Sejatinya suap pengesahan anggaran  bisa dihindari bila proses penyusunan APBD dikawal sedini mungkin. Fenomena suap yang berujung  terjadinya penangkapan dan penahanan secara massal tersebut , jika tidak diantisipasi, tentu akan melumpuhkan harapan masyarakat dan juga  keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Bagaimanapun, kinerja anggota dewan dalam menjalankan  fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan memerlukan kehadiran fisik anggota dewan. Di sinilah dilema dan mudharatnya!

Standar Ganda

Fenomena di atas tentu menimbulkan spekulasi soal adanya penerapan standar ganda dalam pengawalan terhadap potensi tindak pidana korupsi. Pembentukan Tim Pengawalan, Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan Pusat (TP4P) Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Tim Pengawalan, Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D) pada Agustus 2015 lalu dimaksudkan untuk memberikan pendampingan dan kepastian hukum terhadap proyek prioritas nasional agar pelaksanaannya tidak molor dan dapat bisa cepat diselesaikan.

Keberadaan TP4 ini dinilai sebagai model pendekatan lain dalam penegakan hukum yang dilakukan kejaksaan,  bukan hanya mengandalkan penindakan, tapi juga aspek pencegahan.

Adanya kesadaran pemerintah jika upaya penegakan hukum represif akan dinilai kurang  mendukung program nasional, menimbulkan ketakutan para pelaksana proyek dan pejabat di daerah yang berdampak pada rendahnya penyerapan anggaran di kementerian dan pejabat daerah serta melambatnya pertumbuhan ekonomi

Bukan tidak mungkin, upaya pencegahan dan model pendekatan ini juga dilakukan di badan legislatif, sehingga sejak awal anggota dewan dapat membuka akses seluas-luasnya kepada publik dalam pembahasan anggaran. Apalagi proses ini juga dikawal oleh aparat penegak hukum untuk mencegah terjadinya transaksional antara eksekutif dan legislatif dalam pembahasan anggaran.

Upaya pencegahan sejak dini tentu akan meminimalisir terjadinya korupsi massal yang akan berdampak pada kelumpuhan proses masa sidang di dewan dan pelayanan publik suatu daerah.

Hak Imunitas

Seperti diketahui, penerapan hak imunitas anggota dewan dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 2 Tahun 2018) kembali menimbulkan pro dan  kontra  di tengah publik. 

Hak imunitas merupakan hak mutlak yang melekat bagi anggota dewan yang jamak diberikan kepada anggota parlemen di dunia, harus dilihat sebagai jalan untuk meningkatkan efektivitas kinerja anggota dewan dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Namun demikian, kondisi kultural anggota dewan saat ini seolah perlu diberi batasan yang tegas dalam pemberian hak imunitas tersebut. Pembatasan ini diharapkan mampu meningkatkan kinerja dan meminimalisasi terjadinya penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.

Di tengah kompleksnya tugas seorang anggota dewan, keberadaan hak imunitas sangat diperlukan. Pemberian hak imunitas yang melekat pada setiap anggota dewan tentu bukan tanpa alasan diberikan oleh undang-undang. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, anggota dewan harus mempunyai kebebasan dalam menyampaikan aspirasinya, serta mempunyai independensi yang baik. Oleh karena itu, untuk mewujudkan hal tersebut maka lembaga perwakilan rakyat membutuhkan payung hukum yang tegas.

Namun kondisi kultur saat ini berbeda. Rakyat terlalu apatis terhadap kinerja wakilnya di parlemen. Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 seharusnya dinilai melemahkan fungsi pengawasan parlemen justru diapresiasi publik. Sejumlah pakar hukum  berpendapat, putusan MK tersebut sangat tepat dan sesuai akal sehat.

Disadari atau tidak, perlakuan negara terhadap anggota dewan  perlu dinyatakan berbeda, karena bagaimanapun ketika anggota dewan berhadapan dengan hukum maka ada kewajiban konstitusionalnya yang tidak dapat dilaksanakan, yang pada dasarnya adalah kewajibannya dalam memberikan suara terhadap putusan yang menyangkut kebijakan dan kepentingan  publik. Semakin lama proses hukum yang harus dijalani, maka semakin lama pula kesempatan yang bersangkutan ikut bersidang, sementara rakyat yang diwakilinya akan dirugikan.

Kasus korupsi DPRD Kota Malang merupakan pukulan telak bagi partai politik dan juga bagi sebagian masyarakat yang menganggap kinerja dewan sesuatu yang sepele. Bagaimanapun, praktik gratifikasi  ini tidak dilakukan anggota dewan seorang diri. Ada peran eksekutif yang turut memberikan janji sebagai bentuk ucapan terima kasih.

Untuk itu, upaya pengawalan dan pencegahan tindak pidana korupsi tak bisa berlaku standar ganda. Sebagai garda terdepan pengawalan undang-undang, pengawasan dan anggaran, anggota dewan juga memerlukan jaminan hukum, agar pelaksanaan fungsi parlemen berjalan tanpa hambatan.

Semua demi membangun trust publik yang cenderung rendah pada institusi politik. Selain itu juga untuk membangun iklim politik yang membatasi sang pelaku politik jatuh dalam kubang  kriminal seperti yang digambarkan Pramoedya di atas. Semoga!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement