REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Fauziah Mursid, Mabruroh
Putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan uji materi larangan mantan narapidana kasus korupsi mencalonkan diri menjadi anggota legislatif dipersoalkan. Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas ICW, Perludem, Kode Inisiatif, hingga Netgrit menilai ada kejanggalan terhadap keputusan itu.
Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), ada dua hal yang harus dikritisi terkait munculnya putusan MA yang mengizinkan tidak hanya eks koruptor, tetapi juga terpidana kejahatan seksual terhadap anak serta bandar narkoba menjadi calon anggota legislatif (caleg). Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menduga proses pengujian materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 dan 26 Tahun 2018 tidak sesuai prosedur.
Pertama, pengujian peraturan KPU (PKPU) dilakukan sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) menyelesaikan uji materi atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Padahal, menurut Pasal 55 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, proses uji materi peraturan perundang-undangan di MA dilakukan setelah proses uji materi di MK selesai.
Kedua, proses pengujian PKPU terkesan tidak terbuka. Padahal, PKPU ini merupakan polemik panjang yang perlu diputuskan dengan mempertimbangkan pendapat pihak pendukung dan penolak.
“Kami akan melakukan eksaminasi publik atas putusan MA itu karena kami menilai ada kejanggalan, ada perdebatan, baik dari aspek formil maupun materil," tutur Donal saat berdiskusi dalam acara “Putusan MA dan Pencalonan Koruptor di Pemilu 2019” di kantor ICW di Kalibata, Jakarta Selatan, Ahad (16/9).
Eksaminasi memang tidak mengubah hasil putusan dalam perkara pengadilan. Namun, eksaminasi dapat dijadikan catatan untuk menilai apakah hakim yang memutus perkara kredibel atau tidak. Menurut Donal, MA juga dinilai melewatkan kesempatan emas untuk membangun substansi pemilu yang berintegritas.
"Substantif ini momentum yang jarang dilakukan oleh lembaga peradilan. MA jarang, kalau MK ini jarang," ujarnya.
Mantan anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Wahidah Suaeb, menilai putusan MA berpotensi menghadirkan anggota legislatif yang tidak berintegritas. "Memang tamparan keras, ya, buat perjuangan dan spirit publik yang tinggi untuk melawan korupsi," ujar dia.
Wahidah juga menyayangkan sikap Bawaslu yang sejak awal menolak PKPU tentang larangan eks koruptor menjadi caleg. Ia menilai Bawaslu lupa akan tujuan pemilu untuk menghadirkan pemimpin yang memiliki integritas. Antara KPU dan Bawaslu justru kontras terkait polemik PKPU larangan caleg mantan koruptor ini. Padahal, selain KPU, Bawaslu juga harus berperan menghadirkan pemilu yang berintegritas.
Bagi Wahidah, Bawaslu seolah-olah memberikan karpet merah untuk praktik korupsi. Selain dengan mudah meloloskan bakal caleg mantan koruptor, Bawaslu juga enggan mengusut tuntas dugaan mahar politik dan membiarkan kasus itu tenggelam.
"Saya bilang, Bawaslu tidak sadar momentum yang sedang dihadapi oleh bangsa kita soal korupsi. Masyarakat kecewa dengan sikap Bawaslu dan putusan MA," ujar dia.
Di tempat terpisah, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang menilai putusan MA tentang caleg eks koruptor mencerminkan kondisi peradaban hukum di Indonesia tentang kasus korupsi. Namun, terlepas dari kekecewaan masyarakat, KPK sebagai institusi harus menghormati putusan yang sudah diterbitkan MA.
“Putusan itu bagian dari peradaban hukum kita yang perlu dinilai dan dihargai. Dinilai karena peradaban politik kita masih seperti itu. Mau apa lagi?” tuturnya.