REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPP Partai Demokrat Jansen Sitindaon mengingatkan Ali Mochtar Ngabalin, sebagai Tenaga Ahli Deputi IV Kantor Staf Presiden, untuk berhati-hati dalam membuat pernyataan soal gerakan #2019GantiPresiden. Menurutnya, upaya Ngabalin yang mengaitkan gerakan #2019GantiPresiden dengan kegiatan makar adalah tindakan sembrono.
"Saya kira Ali Mochtar Ngabali harus lebih hati-hati dalam menggunakan kata "Makar" dalam menyikapi gerakan 2019GantiPresiden. Boleh tidak suka dan merasa terganggu dengan gerakan ini, namun menyikapapinya dengan mengatakan makar adalah tindakan yang sembrono," katanya dalam keterangan tertulisnya, Selasa (28/8).
Menurut dia, ada baiknya orang disekitar istana yang mengerti hukum Pidana menjelaskan kepada Ali Mochtar apa yang dimaksud dengan makar dan syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi agar sah dikatakan telah terjadi makar.
Jansen menjelaskan makar atau Aanslag adalah istilah dalam hukum pidana. Di KUHP hal mengenai makar ini secara khusus diatur dibawah Bab: Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Inilah benang merahnya. Keamanan Negara. Ia melanjutkan, sehingga jika Ngabali menggunakan kata makar, maka berarti posisi negara saat ini dalam keadaan tidak aman.
"Kami meminta Ngabalin segera mencabut ucapannya ini. Karena ucapan ini selain telah lepas jauh dari konteks makar dalam hukum pidana juga membahayakan demokrasi kita," jelasnya.
Jansen melanjutkan, gerakan #2019GantiPresiden merupakan bagian dari kebebasan berpendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, dan tidak seharusnya disikapi dengan dikatakan makar. Di dalam hukum pidana, Jansen menjelaskan makar terbagi dalam beberapa jenis.
"Jadi makar ini bukan satu jenis saja, neda perbuatan, beda juga jenis makarnya. beda juga pasal yang akan dikenakan," jelasnya.
Makar jenis pertama termuat di Pasal 104 KUHP. Makar jenis ini, menurutnya terkait upaya membunuh pemimpin negara atau merampas kemerdekaan mereka atau menjadikan mereka tidak cakap memerintah. Makar jenis yang pertama ini tentu tidak sulit dipahami.
Kemudian, kata dia, ada makar jenis yang kedua. Ini termuat dalam Pasal 106 KUHP. Makar jenis ini mengatur mengenai, 'tindakan yang membuat sebagian wilayah negara (Indonesia) jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian wilayah negara'.
"Jadi obyek 'serangan' dalam Makar ini adalah 'Kedaulatan atas Negara' atau daerah-daerah di Indonesia. Tindakan ingin memerdekakan diri dari wilayah Indonesia menjadi Negara sendiri yang berdaulat masuk dalam jenis makar ini,"
Dan maka jenis yang ketiga, ia mengungkapkan telah diatur dalam Pasal 107 KUHP. Makar jenis ini terkait, 'tindakan dengan niat untuk menggulingkan pemerintahan yang sah'. KUHP memakai kata 'menggulingkan'. Oleh beberapa ahli dikatakan yang dimaksud dengan 'menggulingkan' yaitu mengganti dengan cara yang tidak sah susunan pemerintahan.
"Apakah gerakan 2019GantiPresiden ini ingin menggulingkan pemerintahan dengan jalan tidak sah dan menggunakan kekerasan? Jawabnya jelas tidak," tegas Jansen.
Karena, menurut dia, Makar jenis yang ketiga ini mengenai mengganti pemerintahan melalui jalur yang tidak sah. Maka ini harus masuk ke ranah hukum tatanegara untuk mengetahui bagaimana cara mengganti pemerintahan yang sah. Dan jawabnya adalah melalui Pemilu.
"Pemilu 2019 besok adalah jalan yang dipilih gerakan ganti presiden ini untuk mengganti pemerintahan yang sekarang sedang berkuasa. Bukan jalan-jalan ilegal menggunakan kekerasan sebagaimana dimaksud makar di KUHP. Jadi tidak tepat makar disematkan kepada gerakan ini sebagaimana disampaikan oleh Ali Muchtar Ngabalin," jelasnya.
Sebelumnya, Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Kantor Staf Kepresidenan Ali Mochtar Ngabalin menyebut gerakan #2019GantiPresiden sebagai gerakan makar. "Itu hashtag #2019GantiPresiden itu adalah makar," kata Ngabalin kepada wartawan, Senin (27/8/2018).
Ali Mochtar Ngabalin mendukung aparat kepolisian yang melarang deklrasi #2019 Ganti Presiden. Pasalnya ia menilai kegiatan tersebut mengganggu keamanan. "Yang teriak #2019 gantipresiden tidak menghargai proses demokrasi," ujar.