Selasa 07 Aug 2018 15:23 WIB

LIPI: Isu SARA Dikapitalisasi Elite Politik

Isu SARA tidak begitu signifikan terjadi di tingkat akar rumput.

(Ilustrasi) Sejumlah penari membawa lambang partai politik saat pentas kesenian dalam rangka sosialisasi Pemilu 2019 di Indramayu, Jawa Barat, Sabtu (21/4). Kegiatan yang digelar KPUD Indramayu dengan tema
Foto: ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
(Ilustrasi) Sejumlah penari membawa lambang partai politik saat pentas kesenian dalam rangka sosialisasi Pemilu 2019 di Indramayu, Jawa Barat, Sabtu (21/4). Kegiatan yang digelar KPUD Indramayu dengan tema "Filosofi Warna" tersebut untuk menyosialisasikan Pemilu 2019 mendatang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil survei yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan bahwa isu suku, agama, ras dan antargolongan menjadi besar karena dikapitalisasi dan dimanipulasi elite politik. Survei dilakukan terhadap 145 orang ahli politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan-keamanan.

"Hasil survei LIPI menunjukkan bahwa isu SARA tidak signifikan terjadi di tingkat akar rumput. Isu SARA terjadi di Pilkada DKI karena kecenderungan manipulasi dan dikapitalisasi elite politik," ujar peneliti LIPI Prof Syarif Hidayat dalam penjelasan hasil survei LIPI di Jakarta, Selasa (7/8).

Survei ini dilakukan terhadap 145 ahli bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan-keamanan yang tersebar di 11 provinsi. Survei dilakukan selama kurun waktu April hingga Juli 2018. 

Survei ini sebagai bagian pelaksanaan kegiatan survei “pemetaan kondisi politik, ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan-keamanan menjelang pemilu serentak 2019: dalam rangka penguatan demokrasi”. Survei ini merupakan bagian dari program prioritas nasional (PN) tahun 2018.

Baca Juga:

Syarif mengatakan dari survei ahli yang dilakukan tim peneliti LIPI itu diketahui bahwa tindakan persekusi yang belakangan marak terjadi di masyarakat mayoritas disebabkan tujuh hal. Yakni, penyebaran berita hoaks (92,4 persen), ujaran kebencian (90,4 persen), radikalisme (84,2 persen), kesenjangan sosial (75,2 persen), perasaan terancam oleh orang atau kelompok lain (71,1 persen), sedangkan aspek religiusitas (67,6 persen) dan ketidakpercayaan antarkelompok/suku/agama/ras (67,6 persen). 

Menurut dia, persentase itu menunjukkan bahwa isu SARA tidak begitu signifikan terjadi di tingkat akar rumput melainkan hanya merupakan isu yang dipolitisasi para elite politik. Syarif mengatakan solusi mengatasi berkembangnya isu SARA adalah dengan mengelola dan mengendalikan perilaku elite politik.

Peneliti LIPI Prof Syamsuddin Haris mengajak seluruh pihak mengimbau elite politik kembali ke jalan yang benar dengan tidak mempolitisasi SARA demi kepentingan jangka pendek. "Politisasi SARA dampaknya sangat besar. Jangan mudah melakukan manipulasi dan politisasi yang mengatasnamakan SARA, ini akan mengakibatkan konflik horizontal," kata Syamsuddin Haris. 

Baca Juga:

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement