Kamis 02 Aug 2018 05:30 WIB

Pakar: Narasi Politik Kubu Prabowo Lebih Menjual

SBY dan Prabowo menunjukkan narasi politik yang menjadi antitesis dari pejawat.

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kanan) bersama Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (kiri) berjalan saat tiba di kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta, Senin (30/7).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kanan) bersama Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (kiri) berjalan saat tiba di kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta, Senin (30/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar komunikasi dan marketing politik dari UGM Nyarwi Ahmad menilai narasi politik yang dikembangkan kubu Prabowo Subianto lebih menjual dibandingkan narasi yang dikembangkan kubu Joko Widodo (Jokowi). Narasi politik yang dibangun di kubu Prabowo kian jelas. 

“Poin-poin yang disampaikan khususnya dalam pertemuan antara SBY dan Prabowo menunjukkan narasi politik yang menjadi antitesis dari pihak pejawat," kata Nyarwi ketika dihubungi dari Jakarta, Rabu (1/8).

Narasi tersebut, lanjut dia, sebenarnya mirip dengan apa yang pernah disampaikan oleh Prabowo dalam Pilpres 2014. "Narasi populis juga,” kata dia. 

Ia mengatakan hal yang membedakan adalah posisi aktor utama dalam hal ini Jokowi, Prabowo, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Selain itu, ada dinamika yang terkait dengan politik identitas. “Khususnya di kalangan Muslim perkotaan dan perkembangan kondisi ekonomi saat ini," katanya.

Sebagai contoh, dalam konferensi pers di rumahnya dan juga di rumah Prabowo kemarin, SBY secara jelas membangun narasi politik yang menarget kelompok pemilih menengah bawah yang kehidupan ekonominya makin susah. SBY juga membangun narasi politik yang anti-Islamophobia.

Narasi ini menarget pemilih Muslim dan tidak hanya yang bergabung dalam gerakan 212. Narasi tersebut juga menyasar pemilih Muslim yang tidak puas dengan gaya Jokowi dalam berkomunikasi dengan para ulama, khususnya di kalangan Muslim perkotaan.

"Hal tersebut merupakan strategi komunikasi dan marketing politik yang cukup canggih," kata doktor bidang komunikasi politik dan marketing politik lulusan Universitas Bournemouth, Inggris, itu.

Jika nanti hanya ada dua poros dan kondisi parpol koalisi di dua kubu tersebut tidak berubah kubu Jokowi perlu kerja keras lagi untuk biss memenangkan Pilpres 2019. Terutama, jika isu-isu yang berkembang di kalangan pemilih yang ditarget tersebut tidak banyak mengalami perubahan.

"Sebagai nonpejawat kubu pendukung Prabowo memiliki lebih banyak ruang untuk bermanuver. Mereka juga disatukan dengan semangat 2019 Ganti Presiden," kata Nyarwi.

Meski tagar #Gantipresiden2019 hanya sebatas wacana di kalangan kelas menengah, menurut Nyarwi, semangat yang dibangun bisa melahirkan para relawan baru yang lebih solid. Bahkan, bukan tidak mungkin relawan baru ini memiliki kekuatan besar yang bisa menggerus kerja-kerja mesin politik Jokowi dan para relawannya.

Ia mengatakan kubu Jokowi harus lebih serius dan punya cara-cara yang lebih inovatif dalam merespons perkembangan tersebut. Tanpa usaha-usaha semacam itu, ia mengatakan, peningkatan elektabilitas Jokowi akan berjalan lambat.

"Apalagi jika tanpa didampingi sosok cawapres yang memiliki pasar potensial yang solid," kata dosen Fisipol UGM itu.

Baca Juga: Alotnya Prabowo Memilih Cawapres

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement