REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Ajang Festival Silat Internasional (FSI) 2018 di Kota Padang mempertemukan Republika.co.id dengan sosok Florence Hartini Wangsabesari-Jamin. Perempuan berusia 45 tahun tersebut merupakan satu-satunya pesilat perempuan asal Suriname, sebuah negara di Amerika Selatan, yang berlaga di atas gelanggang FSI 2018. Ia juga menjadi pesilat senior perempuan satu-satunya di negara Amerika Latin tersebut.
Awalnya Republika.co.id sempat bingung saat mewawancarainya, apakah harus menggunakan Bahasa Inggris atau memakai Bahasa Jawa saja. Kenapa Bahasa Jawa?
Alasannya, penulis ingat cukup banyak keturunan Jawa yang hidup di Suriname dan paras Hartini masih jelas menunjukkan ke-Jawa-annya. Sebelum wawancara Republika.co.id juga belum tahu bila nama lengkapnya mengandung unsur Jawa: Hartini Wangsabesari.
Benar saja, meski ditanya dengan Bahasa Inggris, Hartini merespons menggunakan Bahasa Inggris yang tercampur dengan Bahasa Jawa. Ia mencoba mengatakan kata 'itu' dengan kata 'iku', yang tak lain adalah Bahasa Jawa.
Dari penulis makin yakin Hartini adalah warga Suriname keturunan Jawa. Wawancara pun berlanjut dengan Bahasa Jawa ngoko (kasar) yang biasa digunakan sehari-hari di Jawa Tengah atau Jawa Timur. Ia justru tak begitu lancar menggunakan Bahasa Indonesia.
"Bapak'e bapakku seko Jombang (Jawa Timur), ibuk'e bapakku embuh seko Jowo ngendi, soale kulite puteh," ujar Hartini menjelaskan asal usulnya sebagai generasi keempat keturunan Jawa di Paramaribo, Ibu Kota Suriname.
Arti penjelasannya kurang lebih, 'Kakek buyut saya dari Jombang dan nenek buyut saya entah dari Jawa bagian mana. Kulitnya putih'. Hartini, atau sering dipanggil Florence, kemudian menceritakan kisahnya sebagai satu-satunya pesilat senior perempuan di Suriname, negeri di seberang benua. Ia saat ini juga menjabat sebagai Presiden Asosiasi Pencak Silat Suriname.

Florence Hartini Wangsabesari-Jamin, warga negara Suriname keturunan Jawa yang menjadi satu-satunya pelatih pencak silat perempuan di sana. Hartini juga menjabat sebagai Presiden Asosiasi Pencak Silat Suriname (SPSA).
Menurutnya, tak ada perbedaan mencolok antara seni bela diri pencak silat di Indonesia dan Suriname. Silat yang ia pelajari di Suriname diajarkan turun-temurun sejak kakek buyutnya yang merupakan generasi pertama orang Jawa di Suriname. Gelombang kedatangan masyarakat Jawa di Suriname dimulai sejak akhir 1800-an hingga awal 1900-an silam, digerakkan oleh pemerintah kolonial Belanda.
"Silat iki mbiyen senjotone buyut-buyutku pas perang. Ora nganggo bedil. Gelute yo silat iku. Dadi tugasku njogo silat iki ojo ngangsi ilang. (Silat ini dulu senjata kakek buyut untuk berperang. Bukan pistol. Jadi ini tugas kami menjaga silat agar tak hilang)," ujar Hartini.
Hartini mengaku, mengajarkan silat di Suriname bukan hal yang sederhana. Selain karena gempuran budaya Barat semakin keras, masyarakat Jawa di Suriname masih beranggapan silat tak pantas dipelajari perempuan. Stigma silat hanya diperuntukkan bagi laki-laki masih cukup kuat.
Namun baginya hal itu tak jadi masalah besar. Hartini justru membuktikan perempuan bisa menduduki jabatan tertinggi sebagai pimpinan tertinggi organisasi pencak silat di Suriname. Ia lantas memanfaatkan posisinya tersebut untuk gencar mempromosikan silat kepada generasi muda, khususnya keturunan Jawa di Suriname.
"Dulu judo atau karate lebih populer. Tapi sekarang kami kenalkan silat ke anak-anak. Bahkan usia dua tahun sudah kenal gerakan silat," katanya.
Hartini mengaku tak hapal berapa banyak warga keturunan Jawa di Suriname yang kini aktif berlatih silat. Namun ia memperkirakan, ada lebih dari 1.000 pesilat yang tersebar di 15 perguruan silat di seluruh distrik di Suriname. Hartini ingin ada kerja sama jangka panjang dengan perguruan silat di Indonesia untuk bisa mengembangkan silat di Suriname. Bahkan ia bermimpi memopulerkan silat ke negara-negara lain di Amerika Latin.
"Nah, Suriname bisa jadi pusatnya silat di Amerika Latin. Asalnya kan dari Suriname," katanya.