REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Indonesia Lely Arrianie menilai, aturan Komisi Pemilihan Umum melarang mantan narapidana koruptor maju sebagai calon legislatif (caleg) pada Pemilu 2019 sudah tepat. Namun, Lely menilai prosedur pengajuan aturan tersebut salah.
"Aturan itu tepat, tapi prosedurnya salah. Sebab keputusan MK kan sudah mengatur boleh asal mereka mengumumkan pernah menjadi koruptor," kata Lely dihubungi di Jakarta, Rabu (6/6).
MK pernah mengeluarkan putusan atas uji materi UU Pemilu yang pada putusannya memperbolehkan mantan narapidana koruptor menjadi caleg selama mengumumkan statusnya sebagai mantan napi koruptor. "Artinya larangan KPU tidak sesuai dengan keputusan MK," ujarnya.
Lely menekankan agar larangan napi koruptor maju sebagai caleg, tidak menyalahi prosedur, maka harus dilakukan uji materi kembali terhadap UU Pemilu, atau mengganti isi pasal dalam undang-undang itu.
Baca juga: Menkumham tak Mau Teken PKPU Larangan Eks Koruptor Nyaleg
Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly mengatakan tidak akan menandatangani draf Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang pencalonan anggota legislatif yang memuat larangan mantan narapidana kasus korupsi untuk pileg 2019. Yasonna beralasan, enggan menandatangani karena substansi yang dalam PKPU tersebut bertentangan dengan undang-undang.
"Jadi, nanti jangan dipaksa saya menandatangani sesuatu yang bertentangan dengan UU, itu saja," ujar Yasonna saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/6).
Menurut Yasonna, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) melalui Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan akan memanggil Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam pemanggilan tersebut, pihaknya akan menjelaskan kepada KPU bahwa draf PKPU tersebut tidak sesuai dengan undang-undang di atasnya, yakni UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Selain itu, PKPU tersebut juga tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya pernah menganulir pasal mantan narapidana ikut dalam pilkada pada 2015 lalu. "Nanti saya akan minta Dirjen manggil KPU. Pertama, alasannya itu bertentangan dengan UU. Bahkan, tidak sejalan dengan keputusan MK. Kita ini kan sedang membangun sistem ketatanegaraan yang baik. Tujuan yang baik jangan dilakukan dengan cara yang salah," ujar Yasonna.
Mantan anggota DPR itu memahami niat baik dan tujuan dari KPU, tetapi, menurut Yasonna, jangan sampai menabrak ketentuan UU. "Karena itu bukan kewenangan PKPU, menghilangkan hak orang itu tidak ada kaitannya dengan PKPU, tidak kewenangan KPU. Yang dapat melakukan itu adalah UU, keputusan hakim, itu saja," ujar Yasonna.
Menurut dia juga, pihaknya akan meminta KPU merevisi draf PKPU tersebut karena tidak sesuai dengan undang-undang di atasnya, yakni UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Hal itu juga pernah dilakukan Kemenkumham kepada kementerian lainnya terkait peraturan yang bertentangan dengan UU.
"Ada beberapa kok. Bahkan pernah ada menteri, salah seorang menteri membuat peraturan menteri, kita panggil. Kita beritahu ini enggak bisa gitu. Yang bisa menghilangkan hak adalah UU, keputusan pengadilan. Kalau orang itu keputusan pengadilan dia maka orang itu dicabut oleh keputusan pengadilan," ujarnya.