REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) akan disahkan oleh DPR RI pada Agustus mendatang. Rencananya RKUHP ini akan menjadi kado bagi kemerdekaan Indonesia.
Akan tetapi sampai hari ini, keberadaan RKUHP masih menjadi bahan perdebatan lantaran KPK dengan tegas menolak dimasukkannya pasal korupsi ke dalam RKUHP. Namun, DPR selaku pembuat undang-undang pun tetap berpegang teguh bahwa pasal yang dimasukkan hanyalah pasal inti saja dengan mengacu pada konsep core crime.
Bunyi pasal 1 angka 1 yang dipermasalahkan tersebut yakni, "Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan atau tindakan kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan".
"Itu RKUHP per 8 Maret 2018 mengenai asas legalitas," ujar peniliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Sustira Dirga kepada Republika, Selasa (5/6).
Padahal, terang Dirga, peraturan korupsi sudah diatur khusus dalam undang-undang tindak pidana korupsi (Tipikor). Namun, kemudian DPR dan pemerintah memasukan pasal korupsi ke dalam KUHP.
Tentu saja ujarnya, KPK menolak dimasukkannya pasal korupsi ke dalam KUHP. Karena, nantinya bisa hilang kekhususan pasal korupsi dan akan sama dengan tindak pidana lainnya.
Meskipun terangnya, DPR sendiri mengklaim bahwa RKUHP tidak akan melemahkan KPK. Serta KPK tetap akan bisa melakukan penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan seperti biasanya.
Sebagaimana pasal 679, kata Dirga, yang disebutkan bahwa kewenangan untuk melakukan penindakan hukum ada pada lembaganya masing-masing. Namun kemudian sambungnya di pasal 723 disebutkan bahwa dalam jangka waktu satu tahun sejak UU ini dinyatakan diberlaku, buku kesatu UU ini menjadi dasar bagi ketentuan pidana di luar UU KUHP tersebut.
"Jadi menurut kami ini cukup bermasalah bagi kewengan KPK sendiri," kata dia.
Belum lagi masih menurut Dirga, korupsi sebagai tindak pidana khusus yang mempunyai asas dan prinsip-prinsip khusus kemudian dimasukkan ke dalam KUHP di mana deliknya adalah delik-delik umum. Ini pun kata dia, menjadi permasalahan.
Belum lagi ujar dia, ada beberapa asas yang tidak dianut oleh RKUHP, padahal itu menjadi kekhususannya tindak pidana korupsi. Yakni, perihal uang ganti kerugian,pemufakatan jakat, perbantuan dihukum dengan ancaman sama seperti pelaku, serta denda ancaman yang juga berkurang bila dibandingkan dengan UU Tipikor.
Misalnya, pada pasal 678, ancaman penjara 2 tahun dan maksimal 20 tahun dengan denda minimal Rp 10 juta dan maksimal Rp 150 juta. Sedangkan di UU Tipikor jauh lebih besar, denda minimal Rp 200 juta, sehingga hal tersebut dianggap akan melemahkan pemberantasn korupsi di Indonesia.
"Jadi itu beberapa implikasi yang menurut kami bisa melemahkan pemberantasn korupsi, apabila pasal korupsi masuk RKUHP," tuturnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada Selasa (5/6), menerima 50 ribu lebih petisi yang berasal dari Koalisi Masyarakat berisi penolakan masuknya pasal-pasal korupsi ke dalam RKUHP. Petisi itu diserahkan langsung kepada Ketua KPK Agus Rahardjo.
"Kita kedatangan mantan pimpinan KPK dan teman-teman dari koalisi masyarakat sipil, dan tadi saya sudah mendengarkan banyak hal yang disampaikan mengenai risiko masuknya korupsi ke RUU KUHP, kami ucapkan terima kasih atas dukungan yang begitu besar terhadap penguatan pemberantasan korupsi ke depan," kata Agus, di gedung KPK Jakarta.