Selasa 29 May 2018 19:38 WIB

Polri Kritik Siaran Langsung Sidang Terorisme

KPI menilai harus ada batasan tertentu untuk peliputan sidang kasus terorisme.

Rep: Febrian Fachri / Red: Ratna Puspita
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto memberikan keterangan pers mengenai penyergapan teroris. di Mabes Polri, Jakarta, Minggu (13/5).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto memberikan keterangan pers mengenai penyergapan teroris. di Mabes Polri, Jakarta, Minggu (13/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menyayangkan siaran langsung sidang kasus terorisme dengan terdakwa Aman Abdurrahman dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan beberapa hari lalu. Polri terutama mengkritik siaran langsung dalam durasi yang panjang saat persidangan terdakwa. 

Kepala Divisi (Kadiv) Hubungan Masyarakat (Humas) Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto mengkhawatirkan siaran durasi panjang dapat menginspirasi oknum atau pihak tertentu untuk mengikuti pemikiran terdakwa kasus teror. Setyo juga khawatir ruang yang panjang mempublikasikan Aman justru mendatangkan simpati kepada terdakwa. 

Dia mengatakan hal itu sebenarnya sangat bahaya terhadap keamanan negara. "Ini bisa saja menimbulkan inspirasi bagi orang yang awalnya tidak yakin dan tidak kepingin, jadi kepingin,” kata Setyo, melalui keterangan pers yang diterima Republika, Selasa (29/5).

Selain itu, Setyo juga mengkhawatirkan keamanan hakim yang menangani kasus Aman. Publikasi persidangan membuat publik dapat mengetahui persis wajah hakim yang menjadi pemimpin sidang kasus tersebut.

Jenderal bintang dua itu mengingat lagi persidangan kasus bom Bali yang dulu mendapat protes keras dari Australia karena menayangkan pelaku sambil melambaikan tangan ke kamera. Saat itu, pemerintah Australia menilai pelaku kejahatan teror tidak pantas diberikan ruang di media massa.

“Kata mereka, ‘Kok bisa mereka mendapatkan panggung seperti itu.’ Australia yang paling keras mengkritisi hal ini. Saya harapkan peliputan sidang ke depan melihat beberapa filter,” ujar Setyo.

photo
Petugas kepolisian bersenjata lengkap menjaga terdakwa kasus dugaan serangan teror bom Thamrin dengan terdakwa Oman Rochman alias Aman Abdurrahman saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (25/5). (Antara/Willy Kurniawan)

Setyo mengatakan Indonesia seharusnya mencontoh negara-negara Eropa seperti Inggris yang menutup rapat persidangan kasus teror. Kebijakan serupa juga terjadi di Thailand. 

Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Mayong Suryo Laksono menilai seharusnya ada batasan tertentu untuk peliputan sidang kasus terorisme. Menurut Mayong, pihak stasiun televisi dan penyelenggara sidang seharusnya membuat kesepakatan yang sama sebelum penayangan.

Hal tersebut untuk memilah informasi apa saja yang layak ditampilkan kepada publik. “Persidangan kasus teror tidak harus diliput secara keseluruhan," ucap Mayong.

Menurut Anggota Dewan Pers Imam Wahyudi peliputan sidang kasus terorisme harus melihat substansi dari materi pemberitaan yang akan tersaji selama sidang. Dalam mekanisme jurnalistik, Imam mengatakan, harus ada proses verifikasi, uji informasi, dan pemilihan informasi yang layak disiarkan atau tidak.

Jika tidak melaksanakan prinsip seperti itu, menurut Imam, maka media tersebut sudah kehilangan jati diri sebagai pers yang mengedepankan kepentingan publik. Dia mengatakan masyarakat tidak hanya cukup tahu soal informasi itu, tetapi juga soal kepetingan hidup aman untuk mereka. 

“Tugas pers menjamin masyarakat untuk hidup baik, aman dan damai,” kata Imam.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement