REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum dari Universitas Al Azhar Indonesia Prof Suparji Ahmad mengatakan, sebaiknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera memeriksa Puan Maharani dan Pramono Anung, yang disebut oleh terdakwa Setya Novanto (Setnov) menerima aliran dana proyek korupsi kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el). Hal itu bertujuan untuk menghentikan spekulasi publik tentang adanya diskriminasi hukum.
"Ya nama-nama yang disebut oleh Novanto itu harus ditindaklanjuti dan menjadi bagian dari uraian dalam tuntutan dan putusannya," kata Suparji kepada Republika.co.id, Jumat (30/3).
Menurut Suparji, jika nama tersebut tidak diproses maka dipastikan akan menebarkan prasangka publik. Terlebih, nama yang ada dalam 'nyanyian Novanto' merupakan dua politikus besar Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang kini juga menjabat sebagai pejabat pemerintah. "Jika tidak dipanggil untuk dimintai keterangan, juga akan berdampak negatif kepada yang bersangkutan karena bisa muncul berbagai fitnah," jelasnya.
Dia mengungkapkan, tertangkapnya mantan ketua DPR RI Setya Novanto dalam kasus megakorupsi KTP-el harus menjadi titik penting pengungkapan nama-nama besar yang juga terlibat. Karena itu, menurut dia, KPK mesti memeriksa nama-nama yang disebut Novanto. Tujuannya untuk memastikan kebenaran dan menindaklanjuti sesuai mekanisne hukum jika keterangan tersebut benar.
Sebelumnya, Dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (22/3), lalu Novanto memang menyebut aliran dana pengadaan KTP-el sebanyak Rp 5,9 triliun itu juga mengalir ke dua politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Puan Maharani dan Pramono Anung.