Rabu 21 Mar 2018 00:25 WIB

Pengamat: Kriteria Cawapres Perempuan Sama dengan Laki-Laki

Kompetensi dan kapabilitas harus dimiliki.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Yudha Manggala P Putra
Pemilu 2014 (ilustrasi)
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Pemilu 2014 (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik dari Universitas Indonesia Reni Suwarso menjelaskan, potensi kehadiran sosok perempuan dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 itu ada. Tidak jauh berbeda dari laki-laki, faktor terpenting yang harus dimiliki calon perempuan adalah kompetensi dan kapabilitas mereka.

Poin pertama yang harus dimiliki seorang cawapres, termasuk perempuan, adalah memiliki kesamaan ideologi, visi dan misi negara dengan pasangannya. "Ia juga harus mempunyai jiwa kepemimpinan yang baik," tutur Reni ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (20/3).

Pengalaman memimpin organisasi atau pernah terlibat aktif di dalamnya menjadi nilai tambah para calon. Baik itu menjadi seorang menteri, anggota dan pimpinan DPR akan menunjang kinerja mereka. Modal pemahaman di bidang sosial, ekonomi dan politik, disampaikan Reni, juga tidak kalah penting.

Poin berikutnya adalah cawapres perempuan harus memiliki kemampuan untuk votegathering atau mengumpulkan suara. Pemilu di Indonesia yang menggunakan sistem mayoritas menuntut pesertanya untuk berkompetisi dalam meraih suara pemilih.

Dari beberapa nama yang kerap disebut masuk dalam bursa cawapres, Reni melihat ada Puan Maharani. "Ia mempunyai latar belakang politik dan disokong oleh partai politik yang besar yakni PDIP. Ditambah, nama besar dari ibu dan kakek membuat posisinya kuat," ujarnya.

Tapi, Reni mengatakan, suara di luar PDIP juga harus dipertimbangkan. Apakah mereka akan memilih sosok Puan atau tidak sangat ditentukan kemampuannya dalam merangkul semua kalangan.

Dua nama lain yang juga kerap muncul dalam bursa adalah Sri Mulyani dan Susi Pudjiastuti. Menurut Reni, keduanya sama-sama memiliki figur cerdas dan popularitas tinggi di tengah masyarakat. Hanya, kemampuan vote gathering mereka masih belum bisa dipastikan. "Populer saja tidak cukup. Mereka harus mampu mentransfernya menjadi elektabilitas, di mana orang-orang akan memilih mereka," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement