REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum pidana Universitas Bung Karno Azmi Syahputra menyatakan semestinya tidak ada hambatan lagi untuk pelaksanaan eksekusi mati jilid IV. Mengingat saat ini tengah kondisi darurat narkoba.
"Semestinya tidak ada hambatan untuk eksekusi jilid IV," katanya, Selasa (13/2).
Terlebih lagi, kata dia, jika fungsi dan tugas peradilan sudah tuntas karena sudah berkekuatan hukum tetap. "Termasuk apabila telah melakukan semua upaya yang dijamin hukum termasuk grasi," katanya.
Di sisi lain, kata dia, bisa jadi saat ini para terpidana mati atau pihak yang terkait menanti perubahan regulasi melalui RKUHP, dimana dalam RKUHP terpidana mati yang sudah menjalani hukuman 10 tahun dan berkelakuan baik, pidana mati dapat diubah menjadi hukuman 20 tahun.
Ini bisa jadi sebuah celah atau "rahasia jitu" sehingga terpidana mati tidak akan mengajukan grasi atau belum dieksekusi sampai saat ini, katanya. "Melalui pengesahan RKUHP ada celah hukum yang menguntungkan bagi terpidana mati," jelasnya.
Sepanjang 2015-2016, Kejagung telah melaksanakan eksekusi terhadap 18 terpidana mati yang terbagi dalam tiga jilid. Jilid 1, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran (WN Australia anggota Bali Nine), Raheem Agbaje Salami, Sylvester Obiekwe Nwolise, Okwudili Oyatanze (WN Nigeria), Martin Anderson (Ghana), Rodrigo Galarte (Brazil) dan Zainal Abidin (Indonesia).
Jilid 2, sebanyak enam terpidana mati, yakni, Ang Kiem Soei (WN Belanda), Marco Archer (Brazil), Daniel Enemuo (Nigeria), Namaona Denis (Malawi), Rani Andriani (Indonesia) dan Tran Bich Hanh (Vietnam). Kesemuanya kasus narkoba.
Jilid 3, sebanyak empat terpidana mati, Freddy Budiman (WN Indonesia), Seck Osmane (Nigeria), Humprey Jefferson Ejike (Nigeria) dan Michael Titus Igweh (Nigeria), yang menjalani eksekusi mati.