REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR dan DPD (UU MD3) yang telah disahkan di parlemen, Senin (12/2) terus menuai kritik dari banyak kalangan. Salah satu yang menjadi kritik adalah pasal yang memuat hak imunitas dan hak panggil paksa Anggota DPR.
Terkait pasal imunitas ini, Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menilai citra DPR akan semakin buruk bila pasal ini kemudian menyasar kepada siapapun yang ingin mengkritik atau mengungkap kasus yang terkait Anggota DPR.
"Pastinya citra DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat akan semakin buruk. Karena publik yang selalu kecewa dengan kinerja DPR ditambah ketika mengkritik DPR pun akan dibungkam," kata Salang kepada wartawan, Selasa (13/2).
Sejak awal publik sudah mencurigai jejak pembahasan revisi UU MD3 ini yang terkesan cepat dan tertutup hingga resmi disahkan pada Senin (12/2) malam. Celakanya, ada beberapa pasal yang sangat krusial terutama mengancam demokrasi. Di antaranya pasal 245 soal imunitas yang menyebut pemanggilan Anggota DPR dalam bentuk pemeriksaan harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden dan pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Baca: Pengkritik DPR Bisa Dipidana, Bamsoet: Untuk Jaga Wibawa DPR.
Belum lagi pasal 122 poin K, di mana MKD bisa mengambil langkah hukum terhadap siapapun yang dianggap menjatuhkan dan merendahkan kehormatan lembaga DPR dan Anggota DPR. "Pasal imunitas itu sudah tidak bisa dikritik, ditambah MKD bisa mengkriminalisasi pengkritik itu semakin berbahaya," tegas Salang.
Soal penambahan kewenangan MKD dalam revisi UU MD3 ini, menurut dia, secara substansi ada kesalahpahaman DPR menempatkan fungsi dan posisi MKD. Di mana selama ini MKD dibentuk untuk menegakkan citra dan kehormatan dewan dari perilaku yang tidak layak diantara Anggota DPR. Jadi MKD itu tugas dan fungsinya mengawasi kedalam, kepada anggota DPR.
Namun tiba-tiba setelah revisi UU MD3 ini, ditambah kewenangan MKD untuk membungkam suara kritis publik. Bisa jadi dengan pasal ini maka MKD akan sibuk mengkriminalisasi para pengkritik dan lupa untuk mengawasi dan menindak anggota yang diduga melakukan pelanggaran kode etik atau diduga melakukan pelanggaran perundang-undangan.
Padahal selama ini, MKD itu menjadi sasaran kritik masyarakat karena, tumpul dan tak berdaya dengan Pimpinan DPR dan Anggota DPR yang bermasalah. "Jadi pasal yang seolah-olah antikritik itu, menunjukkan DPR telah menjadi antikritik dan antidemokrasi," imbuhnya.
Pasal imunitas seperti ini tidak boleh dibiarkan, apalagi sekarang era demokrasi dan era keterbukaan. Herannya, kenapa cara berpikir seperti ini justru muncul di DPR di era demokrasi sekarang dan diatur dalam Undang-undang.
Kemudian yang menjadi persoalan lain dalam UU MD3 adalah kewenangan lebih DPR dalam fungsi pengawasan. Di mana, DPR diperbolehkan memanggil paksa seseorang untuk diperiksa di DPR melalui permintaan tertulis kepada Kapolri. "Bahayanya pasal ini bisa dipergunakan untuk mengancam siapa saja. Jadi dampak dari pasal ini bisa kemana-mana," kata Salang.
Menurut dia, pasal-pasal dalam UU MD3, seperti pasal imunitas DPR, pasal tambahan kewenangan MKD hingga pasal kewenangan panggil paksa tidak produktif pada era demokrasi. Sangat tidak layak pasal-pasal seperti ini muncul di tengah masyarakat yang terbuka atas informasi dan kebebasan berpendapat. Karena itu ia yakin pasal-pasal seperti ini justru akan semakin memperburuk citra DPR sendiri di mata publik.