Jumat 09 Feb 2018 14:00 WIB

Jimly: Ahli Hukum Feodal Dukung Pasal Penghinaan Presiden

Jimly sayangkan masukan dari para ahli hukum untuk anggota DPR.

Rep: Debbie Sutrisno/ Red: Andi Nur Aminah
Jimly Assidiqie
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Jimly Assidiqie

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah ahli hukum yang dimintai pendapat oleh DPR menerangkan, pasal penghinaan Presiden yang tengah dirancang dalam KUHP baru, layak dimasukkan. Hal ini semakin menguatkan keinginan sejumlah partai politik agar pasal tersebut menjadi pasal dalam KUHP, yang nantinya akan mengggantikan KUHP lama yang selama ini digunakan pemerintah Indonesia.

Namun, Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), Jimly Asshidddiqie, menilai adanya tuntutan agar pasal penghinaan presiden dihidupkan kembali, sebenarnya bukan hanya karena DPR mulai membahas pasal ini. Yang paling disayangkan, Jimly mengatakan, adalah masukan dari para ahli hukum.

Menurut Jimly, jika para ahli hukum tidak memberikan masukan bahwa pasal ini dibenarkan, maka DPR pun tidak punya kekuatan menghidupkannya lagi. "Kalau hanya mendengarkan ahli hukum dan mereka feodal, maka akan dicari segala alasan agar pasal ini ada pembenarannya dan tetap dihidupkan. Dianggaplah bahwa ini untuk melindungi negara," ujar Jimly, Jumat (9/2).

Jimly menuturkan, para ahli hukum yang diundang bisa jadi bermuatan politik. Hasilnya mereka menilai, pasal ini untuk kepentingan negara untuk waktu ke depan. Padahal sebenarnya pasal ini hanya akan menjerat masyarakat yang ingin menyuarakan pendapatnya.

Menurutnya, semua pihak termasuk para ahli hukum harus berpikir mengenai kemuliaan dalam pasal ini. Sebab pasal ini juga membicarakan mengenai peradaban manusia dan bukan peradaban kekuasaan negara dalam sudut sempit. Sayangnya masih banyak ahli hukum senior yang tidak menyadari jalannya pikiran dalam konteks politik kebudayaan.

Mahkaham Konstitusi (MK) pada 2006, saat dipimpin oleh Jimly sebenarnya telah mencabut pasal penghinaan terhadap presiden yang tertuang dalam 134, 136 bis, dan 137 KUHP. Pencabutan tersebut dikarenakan pasal ini dinilai sudah tak relevan dengan perkembangan zaman.

Aturan ini dibuat pada masa penjajahan Belanda, untuk mempertahankan harga diri Ratu Belanda. "Ketika pasal ini dihapus dari Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi (MK) banyak pujian dari Dewan HAM PBB. Artinya pihak luar pun menilai bahwa pasal ini memang harus ditiadakan," ujar Jimly.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement