Selasa 30 Jan 2018 08:07 WIB

Sikap TNI dalam Pusaran Pati Polri Jadi Plt Gubernur

Mendagri Tjahjo membantah penunjukan plt gubernur terkait kepentingan PDIP.

Ilustrasi Warga menumpang kendaraan tempur saat defile alutsista TNI.
Foto: Republika/Bowo Pribadi
Ilustrasi Warga menumpang kendaraan tempur saat defile alutsista TNI.

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Debbie Sutrisno, Dessy Suciati Saputri, Arif Satrio Nugroho

Heboh penunjukan perwira tinggi (pati) Polri menjadi pelaksana tugas (plt) gubernur di Jawa Barat dan Sumatra Utara masih terus berlanjut. Penunjukan ini meski dinilai sesuai aturan namun menimbulkan pertanyaan-pertanyaan serius apalagi di kedua daerah itu selama dua periode kepemimpinan gubernur bukan berasal dari partai penguasa.

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengingatkan arti penting netralitas dalam proses politik pemilu yang akan digelar pada Juni 2018 mendatang. Ryamizard meminta Mendagri Tjahjo Kumolo tidak menunjukan atau mengangkat pati TNI jadi plt gubernur seperti pati Polri.

TNI, kata dia, harus menjaga netralitasnya sebagai alat pertahanan negara. TNI, sambung dia, tidak boleh terjun ke ranah politik yang hanya mencoreng netralitas TNI seperti yang diamanahkan undang-undang.

Mantan KSAD itu mengaku tidak tahu ada penunjukan pati Polri sebagai plt gubernur. "Kalau kata orang Betawi manaketehe," ujar Ryamizard, Senin (29/1)

Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto menegaskan kembali bahwa TNI akan netral selama pelaksanaan Pilkada 2018.  "Saya tetap pada pendirian sesuai konstitusi TNI yakni UU Nomor 34 Tahun 2004 sudah dijabarkan juga diatur TNI harus netral. Jadi netral (ini) yang saya pegang," kata Panglima TNI di Gedung DPR, Jakarta, Senin (29/1).

Kalaupun nantinya Mendagri menunjuk perwira TNI, Hadi menegaskan TNI tetap netral. Ia menyampaikan ada konstitusi TNI bahwa netralitas adalah segala-galanya. "Dan di rapim TNI dan Polri pun, saya dengan amanat saya, kami sampaikan netralitas itu harga mati," kata Panglima TNI.

Pengertian netralitas TNI sesuai UU No 34/2004 adalah tidak berpihak, tidak ikut, atau tidak membantu salah satu pihak. TNI bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.

Prajurit TNI yang akan mengikuti Pemilu dan Pilkada harus membuat pernyataan mengundurkan diri dari dinas aktif (pensiun) sebelum tahap pelaksanaan pemilu dan pilkada. Tugas utama TNI mngamankan penyelenggaraan pemilu dan pilkada sesuai dengan tugas dan fungsi bantuan TNI kepada Polri.

Sebelumnya, dua pati Polri digadang-gadang Mendagri untuk menjadi plt gubernur, yakni Asisten Operasi (Asops) Kapolri Inspektur Jenderal Polisi M Iriawan dan Kadiv Propam Polri Inspektur Jenderal Polisi Martuani Sormin. Iriawan rencananya akan ditunjuk sebagai pelaksana tugas gubernur Jawa Barat menggantikan Ahmad Heryawan. Sementara Martuani bakal ditunjuk sebagai pelaksana tugas gubernur Sumatra Utara menggantikan Tengku Erry Nuradi.

Namun demikian, penunjukan ini masih menunggu surat resmi dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Nantinya, mereka akan menjabat sebagai pelaksana tugas gubernur hingga rangkaian Pilkada Serentak 2018 selesai.

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno mengatakan hingga saat ini Kementerian Sekretaris Negara (Kemensesneg) belum menerima surat usulan nama-nama plt gubenur dari Kemendagri. "Sejauh ini belum ada. Hari ini saya belum cek, nanti saya tanya dulu ke Karo," kata Pratikno di kantornya, Senin (29/1).

Pratikno menyebut usalan nama pejabat tersebut memang dari Kemendagri. Namun, hingga kini surat resmi usulan itu belum ada masuk ke ruangannya.

Ketika ada usulan nama plt Gubenur dari Kemendagri, Kemensesneg sudah pasti akan berkoordinasi terlebih dahulu. Nama-nama ini dibahas terlebih dahulu sebelum dibawa ke meja Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Kalau ada yang jadi perdebatan publik ya tentu saja didiskusikan. Biasalah diskusi, antara menteri membicarakan. Koordinasi antara menteri di WA (Whatsapp) saja ada kok," ujar Pratikno.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membantah wacana penunjukan dua pejabat tinggi Polri berkaitan dengan partai. Menurut dia, hal ini tidak bersangkutan dengan partai asal Tjahjo, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

"Ini tidak ada sangkut pautnya dengan partai. Saya tahu bahwa saya orang partai, tapi saya memisahkan ini tidak ada paket atau apa dari partai," kata Tjahjo di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (29/1).

Wacana masuknya kepentingan PDIP muncul mengingat di dua daerah strategis ini selama dua periode tampuk kekuasaan gubernur dan wakil gubernur tidak dipegang PDIP. Di Jawa Barat dan Sumatra Utara PKS, Golkar, dan partai lain tampil sebagai pemenang selama dua periode.

Tjahjo pun membantah rekomendasi nama itu muncul dari Kementerian Dalam Negeri. "Saya tidak minta. Saya minta ke institusi (Polri) pada Kapolri, ke Menko Polhukam, saya minta. Yang ngusulkan yang bersangkutan (Polri)," kata dia.

Dari usulan nama tersebut, nantinya akan disampaikan ke Presiden Jokowi lewat Kesekretariatan Negara. "Keppres soal nanti disetujui apa tidak, ya terserah mensesneg yang siapkan keppresnya," ucap Tjahjo.

Lagipula, menurut Tjahjo, hal tersebut tidak menabrak aturan apapun. Siapapun yang ditunjuk menjadi penjabat, baik dari Kemendagri, Polri dan TNI, semua sudah diatur. Ada UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Ada permendagri bahwa eselon 1 dan pejabat di bawah Kementerian dan lembaga bisa diusulkan.

Keputusan terakhir, kata Tjahjo tetap di tangan istana. Tjahjo mengaku hanya menjalankan tugasnya sesuai UU. "Kalau dianggap gaduh, menimbulkan hal yang pro kontra, saya hargai semua pendapat. Kalau bikin gaduh, saya siap terima teguran Presiden," kata dia.

Pati harus mundur dari jabatan polisinya

Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS), Philips J Vermonte, menilai anggota polisi aktif yang diusulkan menjabat sebagai kepala daerah harus mengundurkan diri dari jabatan kepolisiannya. Hal ini diperlukan untuk menghindari dugaan akan terjadi mobilisasi birokrasi dan juga aparat dalam tahun politik ini.

"Kalau orangnya masih dalam status perwira aktif baik TNI-Polri sebaiknya yang bersangkutan mengundurkan diri dari TNI atau Polri. Ini untuk menghindari pandangan-pandangan yang menduga bahwa akan terjadi mobilisasi birokrasi dan aparat," ujar Philips, Senin (29/1).

Presiden Jokowi dalam pemerintahannya menunjuk Jenderal TNI (purn) Moeldoko sebagai Kepala Kantor Staf Presiden. Kemudian, Mendagri juga mengusulkan agar jenderal polisi aktif menjabat sebagai Plt Gubernur.

Menurut Philips, penunjukan anggota Polri dan TNI dalam pemerintahan ini lebih dimaksudkan untuk mengantisipasi potensi konflik di tiap daerah. "Sebetulnya pertimbangannya mungkin karena ini mengantisipasi pilkada dan kemungkinan potensi konflik. Tapi yang kedua, memang Mendagri punya wewenang menetapkan plt," jelasnya.

Philips mengatakan, penunjukan jenderal polisi aktif ini tak akan mempengaruhi citra pemerintahan Jokowi. Sebab, jabatan yang akan diemban hanya sementara waktu.

Persoalan ini menjadi rumit karena pati Polri yang diangkat ini tidak mundur dari jabatannya. Jika mundur, Philips menyatakan masalahnya tidak akan serumit dan segaduh seperti sekarang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement