REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU), Marsekal Purnawirawan Agus Supriatna menganalogikan pembelian helikopter angkut Agusta Westland (AW)-101 di TNI AU dengan pembelian mobil sport asal Itali, Ferrari.
"Saya ingin menjelaskan sekarang kepada teman-teman karena sampai sekarang kan masih ada yang curiga ini kenapa, ini ke mana kan mungkin begitu ya. Nah, sekarang saya istilahkannya begini, saya ini pernah datang ke showroom, showroom mobil Ferrari," kata Agus di gedung KPK, Jakarta, Rabu (3/1).
Hal tersebut dikatakannya seusai menjalani pemeriksaan sebagai saksi dalam penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan helikopter angkut Agusta Westland (AW)-101 di TNI AU Tahun 2016-2017 dengan tersangka Irfan Kurnia Saleh. "Ini Ferrari buat apa nih? Ini buat jalan-jalan, Pak. Ini Ferrari berapa nih, segini. Tetapi, saya menginginkan Ferrari ini bisa dipakai suatu saat untuk balap-balapan," tuturnya.
Menurut dia, mobil Ferrari itu multifungsi sehingga bisa disesuaikan kelengkapannya dengan keinginan pembeli.
"Jadi, fungsinya sampai lima fungsi ya sampai beberapa fungsi yang digunakan sehingga akhirnya orang yang di showroom itu mengatakan. Oh begini, Pak berarti saya nanti pada mesinnya saya akan tambah ini, Pak. Waktu basah, bapak bannya yang ini tetapi waktu kering Bapak juga harus ubah bannya," ucap Agus.
Namun selanjutnya, ia tidak memberikan penjelasan lebih detil terkait kelengkapan dari helikopter angkut AW-101 tersebut. "Rahasia ya. Jadi, alat pertahanan sistem senjata untuk militer. Pengguna pengelolanya itu pasti prajurit," ujar Agus.
Penyidik KPK sebelummya, memanggil Agus, pada 27 November dan 15 Desember 2017. Saat itu, dia beralasan tengah menjalani ibadah umrah. Kuasa hukum Agus, Teguh Samudra, saat itu memastikan kliennya akan memenuhi panggilan KPK usai umrah.
Dugaan korupsi pembelian heli AW-101 terbongkar lewat kerja sama antara TNI dan KPK. Sudah ada lima tersangka yang ditetapkan terkait kasus ini, empat dari unsur militer dan satu merupakan sipil, seorang pengusaha.
Kasus bermula pada April 2017 ketika TNI AU mengadakan satu unit Helikopter AW101 dengan metode pembelian khusus.
Persyaratan lelang harus diikuti dua pengusaha. Dalam hal ini ditunjuk PT Karya Cipta Gemilang dan PT Diratama Jaya Mandiri.
PT Diratama Jaya Mandiri diduga telah melakukan kontrak langsung dengan produsen heli AW-101 senilai Rp 514 miliar. Namun, pada Februari 2016, saat meneken kontrak dengan TNI AU, PT Diratama Jaya Mandiri menaikkan nilai kontraknya menjadi Rp 738 miliar.