REPUBLIKA.CO.ID, Hujan lebat pada suatu hari memaksa Endarto Siswoleksono bersama sepeda motor yang dikendarai menepi ke sebuah rumah tua untuk sekadar berteduh. Karena teras rumah tersebut tidak mampu melindungi dari terpaan hujan, oleh sang pemilik rumah, ia disuruh masuk ke dalam.
Namun, ternyata air hujan menetes dari banyak titik atap rumah. Rumah yang disinggahi Endar memang jauh dari layak huni.
Dari pengalaman itulah, Endar, demikian ia biasa disapa, bersama koleganya membuat wadah komunitas Gerakan Relawan Bedah Rumah dan Kemanusiaan (Gerabah Mas). Komunitas ini memiliki tekad bisa merehabilitasi rumah-rumah keluarga miskin, terutama tempat tinggal para janda tua duafa.
"Oleh karena itu, ada yang menjuluki saya 'Bapak Para Janda Tua'," katanya sambil tertawa.
Bagi Endar dan koleganya, membantu orang agar bisa memiliki rumah layak huni tidak harus menunggu menjadi kaya lebih dulu. Kaya itu, kata dia, satu hal, namun peduli kepada sesama merupakan kewajiban setiap manusia.
Sebagai pemusik daerah, Endar memang menggantungkan hidup dari panggung ke panggung pertunjukan di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Dari keterampilan bermain musik, ia yakin bisa digunakan untuk menggalang dana kemanusiaan.
"Kami akhirnya memutuskan untuk mengamen, yang hasilnya untuk merehabilitasi rumah-rumah keluarga tidak mampu dan menyantuni anak yatim," kata Endar yang juga Ketua Gerabah Mas ketika ditemui di Pantai Widuri, Pemalang, belum lama ini.
Cara mengamen Endar dan grup musiknya memang serius. Mereka membawa alat musik yang memadai, "sound system" yang layak, serta vokalis bersuara ramah telinga.
Hampir setiap hari Ahad, Endar dan komunitasnya mengamen di Pantai Widuri atau di lokasi "car free day". Kepada pengunjung, Endar selalu menyatakan bahwa hasilnya untuk kegiatan sosial, antara lain, untuk bedah rumah dan menyantuni anak yatim.
"Alhamdulillah, mereka percaya. Pembukuan kami terbitkan melalui internet (Facebook). Mereka akan tahu berapa uang terkumpul, berapa uang yang digunakan," kata bapak satu anak ini.
Transparansi keuangan tersebut penting untuk meyakinkan kepada para donor bahwa uang yang dihimpun memang 100 persen digunakan untuk membangun rumah keluarga miskin, menolong orang lumpuh, dan anak yatim.
"Bahkan, untuk biaya operasional kami sepakat tidak mengambil dari donasi itu, tetapi mengeluarkan uang pribadi," katanya.
Ia menyebutkan sejak komunitas Gerabah Mas diluncurkan tahun lalu, sampai saat ini sudah 16 rumah keluarga miskin diperbaiki hingga layak huni. Endar menyebutkan program bedah rumah tidak beda dengan program yang pernah tayang di stasiun televisi.
Biaya yang dibutuhkan untuk merehabilitasi satu rumah sekitar Rp20 juta, namun ada pula yang mencapai Rp40 juta. Material bangunan yang digunakan juga bukan murahan, sebagian memakai bata ringan.
Pada awalnya memang ada yang sangsi, namun setelah berbagai pihak tahu dan yakin bahwa hasil mengamen memang untuk membangun rumah keluarga miskin, kini banyak pihak yang menyodorkan bantuan uang untuk ambil bagian termasuk salah satu operator telepon selular.
Bahkan operator telepon seluler ini mencetak label kemasan kartu perdana dengan tulisan Gerabah Mas sebagai bukti dukungan terhadap kegiatan kemanusiaan tersebut.
"Sekarang semakin banyak individu yang mentrasfer uang ke rekening komunitas untuk mendukung program tersebut," katanya.
Bahkan ada seorang remaja dari keluarga pas-pasan yang meminta kami untuk mengambil donasi di rumahnya. "Dia memang hanya memberi Rp 20 ribu. Akan tetapi kami tidak melihat besar uangnya, tapi dari sisi kepedulian dia terhadap sesama," katanya.
Oleh karena itu, komunitasnya pernah menolak donasi dari sebuah instansi pemerintah di Kabupaten Pemalang karena dianggap kurang tepat bila menyalurkan bantuan kepada komunitas.
"Lebih baik instansi tersebut menyalurkan sendiri. Kami punya cara sendiri untuk menggalang dana meskipun harus berkeringat. Namun, itu lebih memuaskan jiwa anggota komunitas kami," kata pemusik yang punya jadwal manggung tetap di sejumlah hotel di Pemalang itu.
Manusia kardus
Endar berkisah bahwa ketika uang yang digunakan untuk merehabilitasi rumah masih kurang, sementara waktunya mepet, ia minta biduan grup musik yang dimpimpinnya, Grand, mengedarkan kardus untuk minta sumbangan dari penonton konser musik.
"Menurunkan 'manusia kardus' ke tengah penonton pertunjukan musik seperti itu cukup efektif untuk mengumpulkan sumbangan," kata pemusik berusia 54 tahun tersebut.
Setelah di Pantai Widuri, wawancara dilanjutkan di Kafe Locomotive Pemalang, sebuah kafe kecil dan sederhana, yang malam itu disesaki keluarga untuk menikmati liburan.
Endar memang bukan "keyboardist" di kafe ini, namun hampir semua pramusaji mengenalnya. "Saya memang hidup dari bermain musik," ujar lulusan SMAN Pemalang 1984 itu.
Cicik, pegawai negeri sipil Pemkab Pemalang, mengakui bahwa Endar memang sosok yang peduli kepada orang lain, termasuk kepada teman-temannya.
"Jadi, kalau dia sekarang punya kegiatan bedah rumah, itu tidak jauh dari sikap peduli dia kepada orang lain," ujar Sugiarti, rekan Endar yang lain.
Bagi Endar, setiap profesi memiliki tanggung jawab kemanusiaan karena mereka tidak hidup dan berkarya di ruang sunyi.