REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Deputi Menteri Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Lenny Rosalin mengatakan, angka perkawinan anak di Indonesia pada tahun 2016 mencapai 17 persen, atau tertinggi kedua di Asia Tenggara setelah Kamboja.
Lenny pun menyebutkan lima strategi utama KPPPA dalam mencegah terjadinya perkawinan anak.
Pertama, sosialisasi dan advokasi kepada anak. KPPPA telah memiliki forum anak yang tersebar dari tingkat nasional hingga ke desa. Lenny berharap, anak-anak memiliki kesadaran dalam menentukan sikap terkait perkawinan anak.
Kedua ialah keluarga. KPPPA mendirikan pusat pembelajaran keluarga di provinsi dan kabupaten/kota untuk mencegah perkawinan anak. Menurut Lenny, keluarga memiliki peran penting dalam menekan tingginya perkawinan anak.
"Seolah-olah perkawinan anak selesaikan masalah keluarga, padahal setelah kawin justru menambah beban keluarga. Ini yang harus kita luruskan," ujar Lenny usai Deklarasi Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak di Taman Budaya NTB, Ahad (10/12).
Ketiga ialah sekolah yang menjadi titik sentral bagi anak untuk terus menyelesaikan wajib belajar 12 tahun. Keempat, faktor lingkungan. Lenny meminta anak-anak diberikan ruang untuk menjalankan hobinya yang positif seperti olahraga hingga kesenian.
Faktor kelima terletak pada kebijakan kepala daerah. Lenny menyebutkan, kebijakan kepala daerah sangat berpengaruh dalam pencegahan perkawinan anak di daerah masing-masing.
Lenny menambahkan, beragam faktor ini merupakan hal yang harus dilakukan secara bersama dalam menurunkan angka perwakilan anak.
"Kita (KPPPA) tidak bisa sendirian, tapi harus bersama-sama pihak lain, mulai dari pemda, LSM, dan juga media dalam mengkampanyekan gerakan stop perkawinan anak," lanjut Lenny.
Selain itu, Lenny meminta dunia usaha juga ikut berkontribusi dengan tidak menerima pekerja pada usia anak-anak.