REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Jumat (20/6/2025) menyuarakan peringatan keras mengenai peningkatan drastis jumlah anak-anak yang menderita kekurangan gizi di Jalur Gaza. Situasi ini diperparah oleh pembatasan bantuan yang terus-menerus, gelombang pengungsian massal, serta serangan yang dilancarkan oleh Israel.
Kondisi kemanusiaan di Gaza dinilai telah mencapai titik kritis, dengan anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan terdampak. Juru bicara PBB, Stephane Dujarric, dalam konferensi pers mengutip data dari UNICEF, mengatakan, “Jumlah anak-anak yang mengalami kekurangan di Gaza meningkat pada tingkat yang mengkhawatirkan, dengan lebih dari 5.100 anak usia enam bulan hingga lima tahun dirawat karena kekurangan gizi akut hanya dalam bulan Mei”.
“Badan tersebut (UNICEF) menyatakan jumlah ini menunjukkan peningkatan hampir 50 persen dibandingkan April dan peningkatan 150 persen dibandingkan Februari, ketika gencatan senjata diberlakukan dan bantuan masuk ke Gaza dalam jumlah signifikan,” kata dia.
Menurut UNICEF, lebih dari 16.700 anak-anak dirawat karena kekurangan gizi di Gaza selama lima bulan pertama tahun 2025 dengan rata-rata 112 anak per hari. “Setiap kasus ini dapat dicegah. Makanan, air, dan perawatan gizi yang sangat dibutuhkan anak-anak ini sedang dihalangi untuk menjangkau ke mereka,” kata Dujarric.
Ia menyampaikan bahwa setara dengan 1.000 truk berisi bantuan kesehatan, gizi, dan kebutuhan lainnya saat ini berada di luar perbatasan, siap untuk dikirimkan. Otoritas Israel, tambah Dujarric, telah mengeluarkan perintah penggusuran baru yang berdampak pada dua lingkungan di daerah kantong tersebut, dengan alasan adanya tembakan roket dari wilayah tersebut.
“Ini berdampak pada dua lingkungan tempat tinggal ratusan keluarga,” ujarnya.
Dujarric menuturkan tidak ada bahan bakar yang masuk ke Gaza selama 16 pekan terakhir dan Israel memfasilitasi 12 dari 21 misi kemanusiaan PBB pada Kamis (19/6/2025) sementara lima misi ditolak dan empat dibatalkan. Di Tepi Barat yang diduduki, Dujarric memperingatkan tentang penggusuran paksa yang mengancam di wilayah Masafer Yatta, di mana Israel menolak semua permintaan perencanaan dan pembangunan, baik lama maupun baru, sehingga lebih dari 1.200 warga Palestina berada dalam risiko tinggi.