Kamis 30 Nov 2017 04:40 WIB

Anies Baswedan Sudah Terbukti Gagal

Anies Baswedan
Foto: ROL/Havid Al Vizki
Anies Baswedan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy

Judul di atas mungkin kini ada di kepala orang-orang yang masih mengidap penyakit baper kronis usai Pilgub DKI 2017. Ya, selain menimbulkan perseteruan panas, Pilgub DKI lalu memang merusak sebagian objektivitas dan rasionalitas dalam berpikir. Konsep keadilan dalam berpikir sudah tak ada lagi di kepala sebagian barisan sakit hati.

 

Sebaliknya, yang tersisa dari Pilgub adalah semangat untuk membalas dendam kekalahan. Memang tak semua yang mengidap penyakit kejiwaan bawaan Pilkada ini. Warisan Pilkada memang begitu dalam. Ini mirip seperti Pilpres 2014. Sejak itulah kita mengenal kata haters atau mereka yang membenci calon terpilih.

 

Sedikit intermezo saja. Haters sejatinya merupakan leksikon bahasa Amerika yang diciptakan oleh aktor Will Smith. Pada tahun 1997, Smith memperkenalkan istilah haters lewat lagu hits-nya Gettin’ Jiggy wit It. Smith mengartikan haters sebagai orang yang cemburu pada keberhasilan orang lain.

 

Dengan filosofi yang sama kita bisa mengartikan haters di dunia politik adalah orang-orang yang dipenuhi rasa cemburu karena kekuasaan yang bertepuk sebelah tangan. Jadi layaknya orang yang sedang dibakar cemburu, logika adalah barang nomor dua. Emosi jadi semangat utama haters ini. Sehingga wajar haters tak butuh rasionalitas.

 

Celakanya haters yang menggadaikan rasionalitas ini ada di segala lapisan, utamanya orang terdidik. Profesor hukum dari Wake Forest University, Gregory S Parks bahkan menilai haters ini adalah orang yang menipu akalnya sendiri. Tak peduli tingkat kecerdasannya, haters memanipulasi rasionalitas demi melanggengkan kebenciannya.

 

Kita mesti bersyukur Pilkada DKI tak hanya memproduksi haters. Sebab masih ada dari dari Ahoker yang punya rasionalitas untuk menilai kinerja gubernur baru, Anies Baswedan. Di sisi lain, banyak Aniser yang juga masih tetap berpikir kritis sekalipun yang berkuasa adalah jagonya.

 

Sayangnya kecenderungan baper tetap masih besar, bahkan di kalangan media. Jurnalis sebagai warga negara biasa memang punya preferensi politik pribadi. Celakanya, preferensi pribadi ini masuk ke ruang redaksi. Jurnalis harusnya terbebas dari subjektivitas politik. Tapi semua hanya bait pemanis kata dalam kode etika. Gejolak hati membuat banyak jurnalis, tak peduli zaman old atau zaman now juga ikut dalam pusaran baper atau cheerleader. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement