Selasa 07 Nov 2017 00:02 WIB

Sjamsul Nursalim Kembali Mangkir dari Panggilan KPK

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Febri Diansyah - Juru Bicara KPK
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Febri Diansyah - Juru Bicara KPK

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim kembali mangkir dalam pemanggilan sebagai saksi oleh KPK. Pada hari ini, keduanya dijadwalkan menjadi saksi untuk penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) BDNI merugikan keuangan negara Rp 3,7 triliun.

"Ada problem memang dalam perkara ini karena dua saksi tersebut ada di Singapura. Sehingga ada aturan hukum yang berbeda dan batasan kewenangan KPK ketika tidak ada di wilayah Indonesia," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta, Senin (6/11).

Oleh karena itu, sambung Febri, KPK akan mencari jalan keluar yang sesuai mekanisme kerja sama internasional misalnya, agar penanganan perkara ini tidak tertunda-tunda nantinya. "Banyak alternatif harus kita pertimbangkan nanti saya kira. Apakah kordinasi lebih lanjut dengan otoritas di Singapura atau pencarian bukti-bukti yang lain karena prinsipnya saksi yang kita panggil berarti ada keterangan yang dibutuhkan dari mereka terkait perkara dalam penyidikan sidik, karena mereka berdua dipanggil sebagai saksi untuk tersangka SAT," terang Febri.

KPK menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim. SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004. Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp 4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Sehingga, hasil restrukturisasinya adalah Rp 1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak. Sedangkan Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya ada kewajiban BDNI sebesar Rp 3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.

BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter 1998 di Indonesia. Skema untuk mengatasi masalah krisis ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF.

Bank Indonesia sudah mengucurkan dana hingga lebih dari Rp 144,5 triliun untuk 48 bank yang bermasalah agar dapat mengatasi krisis tersebut. Namun penggunaan pinjaman ternyata tidak sesuai dengan ketentuan sehingga negara dinyatakan merugi hingga sebesar Rp 138,4 triliun karena dana yang dipinjamkan tidak dikembalikan.

Terkait dugaan penyimpangan dana tersebut, sejumlah debitur kemudian diproses secara hukum oleh Kejaksaan Agung. Tapi Kejaksaan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada para debitur dengan dasar SKL yang diterbitkan oleh BPPN.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement